kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jalur musik indie enggak ada matinya


Jumat, 01 Juli 2011 / 15:33 WIB
Jalur musik indie enggak ada matinya
ILUSTRASI. Wall Street


Reporter: Handoyo, Gloria Natalia | Editor: Tri Adi

Mengusung musik yang berbeda, yakni dengan idealisme kuat membuat musik indie memiliki penggemar fanatik yang terbatas. Namun, pembajakan mendorong penurunan penjualan CD dan kaset lebih dari 50%. Inilah yang membuat industri musik dari indie label tersungkur.

Industri musik Tanah Air kian meredup dengan makin maraknya pembajakan. Tak hanya industri rekaman besar atau major label, indie label juga mengalami imbas yang sama.

Yoyok Prasetyo menuturkan, setelah album indie rilis hanya butuh waktu yang supercepat karya dari para musisi sudah tersebar di internet. "Ini jelas pukulan besar," kata pemilik indie label, SonnenGott Musik.

Mengusung lima band bergenre musik metal underground, SonnenGott Musik menjadi salah satu perusahaan rekaman indie yang masih bertahan. Namun, kata Yoyok kejayaan label musik mulai redup. Pembajakan membuat penjualan compact disc (CD) dan kaset original menurun hingga lebih dari 50%.

Jika pada tahun 2000 hingga 2005, tiap band bisa memproduksi lebih dari 10.000 keping CD, kini tak lebih dari 10% yang bisa dihasilkan. "Untuk membuat 500 copy saja sudah susah," keluh Yoyok.

Minimnya penjualan membuat keuntungan indie label hanya cukup untuk menutup biaya produksi rekaman. Sebab, untuk mencetak satu album biayanya mencapai Rp 5 juta hingga Rp 10 juta.

Budaya masyarakat yang berubah juga turut mendorong ambruknya industri musik indie. Dengan internet orang lebih suka mengunduh lagu secara gratis ketimbang membeli CD atau kaset. "Di internet, orang bebas mengunduh, bahkan menyebarluaskan," katanya.

Anjloknya penjualan dan biaya produksi yang tinggi membuat band-band di bawah naungan SonnenGott Musik lebih banyak membuat single lagu dibandingkan dengan memproduksi album dengan 10 lagu. Dengan mengeluarkan single lagu, biaya produksi bisa ditekan. Untuk merekam sebuah lagu biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 500.000. "Itu cukup lumayan untuk kualitas suaranya," tutur Yoyok.

Biaya lebih besar harus dikeluarkan jika memproduksi album CD. Untuk tiap album CD yang dibuat, margin keuntungan hanya 30%, dari harga Rp 25.000 hingga Rp 35.000. Dari tiap CD yang terjual, band mendapatkan royalty 10% sampai 25%.

Walau meredup, Yoyok masih optimistis indie label ke depan masih akan terus hidup. "Akan tetap hidup selama karya anak band yang mengusung indie masih menggaung," ucapnya.

Untuk menambah penghasilan, Yoyok memproduksi merchandise pendukung, seperti kaos, stiker, atau pin. Fans-fans setia menjadi pasar yang digarap. Sebab, walaupun tidak banyak, hampir tiap band indie memiliki fans setia sendiri-sendiri.

Dengan segmen terbatas, menurut Yoyok, indie label memakai dua strategi pemasaran utama. Pertama melalui mail order atau via online. Kedua menitipkan CD musik produksi indie label ke distro-distro.

Yoyok mengaku juga pernah menawarkan ring back tone (RBT) pada tahun 2008-2009. Namun, usahanya gagal karena penikmat setia RBT bukan penggemar musik indie.

Selain SonnenGott Musik di Gresik Jawa Timur, Blossom Records di Yogyakarta juga hidup dari usaha musik indie. Mengusung beberapa jenis musik, seperti indiepop dan juga elektronik 80-an, Blossom memulai bisnisnya sejak tahun 2002. Irwan Jasmoro, Kepala Distributor dan Promosi Blossom Records mengaku masih optimistis dengan keberlangsungan bisnisnya, walau harus bersaing dengan major label. Sebab, "Kami memiliki target pasar sendiri," jelasnya.

Blossom menggunakan konsep bagi hasil dengan band. "Biaya rekaman dibiayai oleh band atau musisi, namun produksi penggandaan dilakukan oleh Blossom Records," katanya.

Menurutnya, Blossom lebih memfasilitasi band-band indie yang ingin berkarya. Saat ini, tercatat ada 12 band yang bernaung di bawah bendera Blossom Records, antara lain BangkuTaman dan Dojihatori.

Seperti juga SonnenGott, Blossom juga menjual CD produksinya seharga Rp 25.000-Rp 35.000 per keping. Biaya produksi tiap keping Rp 10.000 sampai Rp 12.000. "Keuntungan untuk tiap CD sekitar Rp 15.000," hitung Irwan.

Irwan mengatakan, sekali rilis, ada sekitar 200 keping CD yang dilempar ke pasar. Jumlah itu sangat minim, sebab segmen pasar penggemar atau fans fanatik sangat terbatas.

Selain penjualan langsung saat konser, Irwan juga menjual CD via online, misalnya lewat jejaring sosial dan situs sosial seperti Kaskus dan My Space, serta menjualnya melalui distro.

Sedangkan di Bandung, Linoleum Records juga mencoba mengangkat band-band indie. Berdiri pada Desember 2004, Linoleum dulunya adalah sebuat toko distro pakaian dan merchandise. Pertama kali, Linoleum merilis album Loyalitas dari grub Under 18, bergenre hardcore.

Tomi Tahjudin, pemilik Linoleum Records mengatakan, untuk mempromosikan Loyalitas, dia melakukan tur ke acara-acara yang diselenggarakan anak SMU.

Dari acara ini, Under 18 mendulang banyak respon positif sehingga membuatnya dikenal di Bandung. Hingga saat ini Linoleum sudah menelurkan lima album. Jumlah itu akan bertambah menjadi delapan setelah Lebaran 2011 ini.

Namun, Linoleum hanya meluncurkan album bukan memproduksinya sendiri. "Produksi mereka kerjakan sendiri. Nanti mereka kasih master album berupa CD ke kami," kata Tomi.

Selain penggandaan, Linoleum akan membuatkan klip lagu, produksi sampul album, dan promosi album dengan biaya Rp 10 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×