Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Tri Adi
Melihat tata artistik panggung yang sederhana, Jay Subiyakto tertantang untuk menggarap tata panggung konser musik di Indonesia. Ide kreatif juga mengantar kesuksesan menggelar pergelaran musikal dengan seting Candi Borobudur. Kini, Jay menjadi maestro artistik Indonesia. Ia juga terus menggali kekayaan budaya sebagai sumber inspirasinya.
Menjadi seorang penata artistik sudah menjadi pilihan hidup Agara Wijaya Subiyakto atau yang akrab disapa Jay Subiyakto. Ia mengawali profesinya sebagai juru foto pertunjukan panggung band Karimata pada 1985. Tak hanya sebagai juru foto, Jay juga ikut mendesain logo dan album Karimata.
Selanjutnya, bersama Erwin Gutawa, sahabat dekatnya semasa kuliah, Jay menggebrak pertunjukan musik tanah air. Mereka menggelar konser diva pop Ruth Sahanaya pada 1993 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Dari sinilah Jay mulai tertarik dengan tata artistik panggung yang kala itu masih sederhana.
Pria kelahiran Ankara, Turki, pada 1960 ini, selanjutnya, mencetak banyak prestasi. Di antaranya menjadi penata artistik untuk konser 3Diva: Krisdayanti, Ruth Sahanaya dan Titi Dwijayanti. Jay juga menjadi penata artistik selusin pertunjukan musik, milik Krisdayanti, Chrisye, dan penyanyi papan atas lainnya. Tak hanya seni pertunjukan, tangan kreatif Jay juga menggubah pertunjukan seni tradisional.
Lulusan sarjana Teknik Arsitektur Universitas Indonesia ini juga sukses menggelar pergelaran musikal yang dikombinasikan dengan seni tari dengan seting utama Candi Borobudur untuk kantor berita BBC, Inggris. Pertunjukan ini disiarkan ke 48 negara, sebagai bagian dari penyambutan milenium ketiga tahun 2000 silam.
Menurut Jay, momentum inilah yang paling berkesan dan berharga sepanjang kariernya pada dunia seni. "Karena, kami hanya diberi waktu 12 menit, untuk menampilkan citra Indonesia dan disiarkan hampir di seluruh dunia," imbuh Jay.
Dalam setiap tata artistiknya, sebisa mungkin, Jay mengedepankan unsur kebudayaan Indonesia. Tak heran, ia pun butuh waktu lama dalam menangani proyek tata artistik.
Untuk menata pertunjukan musik, Jay memerlukan waktu empat bulan. Selama itu, ia mematangkan konsep pertunjukan, mendesain dan akhirnya menggelar pertunjukan tersebut. Sementara itu, untuk pertunjukan seni tradisional dan drama musikal, ayah satu orang anak ini butuh waktu satu hingga dua tahun sebelum akhirnya dapat menggelar sebuah pertunjukan.
Menurut Jay, seorang penata artistik patut mengikuti seluruh proses produksi, baik praproduksi, saat pertunjukan maupun pascaproduksi. Keterlibatan secara intensif ini, dapat menghasilkan penataan artistik yang baik dan seimbang.
Pasalnya, penataan artistik mendukung semua lini, termasuk koreografi, tata suara serta tata lampu. "Lingkup kerja penata artistik memang luas. Karena dalam setiap pertunjukan penata artistik harus mengetahui lalu lintas panggung pertunjukan," tandasnya.
Porsi tata artistik cukup besar, karena harus mampu menunjang seluruh tampilan visualisasi pertunjukan. Selain itu, penata artistik juga harus memikirkan keselamatan pemain dan kelancaran pertunjukan tersebut.
Jay mendapatkan ide tentang seting ini dari desain rumah adat serta berbagai adat-istiadatnya di Indonesia. "Saya punya prinsip tidak melihat referensi dari tata artistik luar negeri, tapi menggali sendiri. Karena, hasil pemikiran sendiri lebih orisinal," jelasnya.
Biaya tata artistik, jelas Jay, tak sedikit. Untuk sebuah konser musik, dibutuhkan hingga Rp 1,5 miliar. Sementara itu, pergelaran seni tradisional ataupun drama musikal, biaya bisa mencapai Rp 3 miliar.
Dari porsi itulah, biasanya Jay mengambil fee. Sayang, ia tak mau menyebutkan besar pendapatan yang mengalir ke kantongnya. Selain itu, tak semua pertunjukan bisa menghasilkan uang. "Kadangkala, kami lebih mementingkan kepuasan batin," ujarnya merendah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News