Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Tri Adi
Kaca bisa dibuat berbagai kerajinan yang menarik. Tak hanya kaca lembaran baru, potongan kaca bekas juga bisa menjadi kerajinan bernilai jual tinggi. Lihat saja Sapto Daryono dan Rindra Anang Pambudi yang meraup omzet puluhan juta dari usaha kerajinan kaca ini.
Usaha kerajinan kaca atau mirror craft terus berkembang. Saat ini, pasar kerajinan ini tak hanya merambah kota-kota besar di Indonesia, namun telah menembus pangsa pasar internasional seperti di wilayah Eropa dan Asia.
Salah satu perajin kaca yang sudah menembus pasar ekspor adalah Sapto Daryono di Bantul, Yogyakarta. Sejak 2005 silam, Sapto mulai membuat kerajinan kaca.
Hingga kini, tangan Sapto telah berhasil membuat ratusan kerajinan kaca. Berbagai model telah dia buat, seperti cermin hias, lampu hias, lampu gantung, tempat tisu, dan asbak. Untuk lampu saja, Sapto mampu menghasilkan lebih dari 50 desain, sedangkan cermin setidaknya sudah ada 30 desain. "Bisa desain sendiri atau sesuai permintaan pembeli," katanya.
Dengan produksi tiap bulan mencapai 200 unit lampu hias, 50 cermin hias, dan 300 kerajinan lain, Sapto mampu meraup omzet Rp 180 juta sampai Rp 210 juta per bulan. Harga kerajinan kaca itu juga beragam, mulai Rp 150.000 hingga jutaan rupiah per unit.
Rindra Anang Pambudi juga membuat kerajinan kaca di Malang, Jawa Timur. Namun bedanya, jika Sapto lebih banyak memakai bahan baku kaca baru, Rindra memakai kaca bekas. ”Kalau orang lain melihat kaca bekas sebagai sampah, bagi saya itu emas,” katanya.
Potongan-potongan kaca bekas Rindra bentuk menjadi miniatur mesjid, patung, candi atau bentuk lain seperti menara Eiffel di Paris. Walau kelihatannya mudah, namun kerajinan ini membutuhkan kreativitas dan ketelitian sehingga memakan waktu lama. Rindra mengaku butuh waktu sekitar tiga bulan untuk satu miniatur Eiffel.
Walaupun terbuat dari potongan kaca bekas, namun harga jual kerajinan kaca Rindra cukup mahal. Untuk tiap unit miniatur dijual dengan harga bervariasi antara Rp 25.000 hingga Rp 13 juta tergantung tingkat kesulitan dan ukuran. "Semakin sulit, harganya makin mahal," kata Rindra. Dari penjualan miniatur kacanya tersebut, dia mampu meraup omzet Rp 30 juta hingga Rp 50 juta per bulan.
Bahan baku yang murah dari kaca bekas membuat keuntungan yang diperoleh Rindra cukup besar. Dia hanya membutuhkan lem kaca dan membayar tenaga kerja, berbeda dengan Sapto yang harus membeli lembaran kaca baru.
Walaupun banyak memakai kaca bekas, namun Rindra tak menolak bila ada yang menawari potongan-potongan kaca yang masih baru dari depo bangunan. Bahkan untuk tiap kilogram potongan kaca itu dia beli seharga Rp 1.000. Namun jika telah menjadi miniatur, Rindra menghitung tiap kilogram kaca bisa berharga Rp 75.000 hingga Rp 90.000.
Soal bahan baku, Sapto juga memiliki pemasok yang siap menyediakan kaca kualitas lokal dan impor. Maklum, tiap produk kerajinan kaca bisa dihasilkan dari jenis kaca berbeda. Contohnya, untuk produk cermin hias, Sapto menggunakan kaca impor, sedangkan lampu hias dia buat dari kaca lokal.
Harga kaca impor pun lebih mahal. Per lembar kaca impor ukuran 210 cm x 90 cm harganya Rp 290.000. Adapun kaca lokal bisa lebih murah hingga Rp 110.000 untuk ukuran yang sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News