Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi
Belut kini bisa dikembangkan menjadi berbagai kudapan yang nikmat. Tak hanya keripik, belut juga dibuat abon, pepes, bahkan dendeng. Harganya pun relatif mahal. Abon, misalnya, harganya Rp 150.000 per kilogram. Dari usaha ini para produsen bisa mengantongi omzet Rp 2 juta tiap hari dan memenuhi pasar hingga Malaysia dan Korea.
Sebagian orang mungkin hanya mengenal kelezatan belut melalui keripik belut. Camilan khas yang sering dijumpai di Godean, Yogyakarta. Namun, tak hanya keripik, binatang licin mirip ular ini ternyata bisa dibuat berbagai kudapan yang nikmat.
M. Fajar Junariyata, misalnya. Ketua Kelompok Belajar Usaha (KBU) Baitul Ilmi Bogor, Jawa Barat ini, sejak 2008 lalu telah memproduksi berbagai macam olahan produk makanan berbahan belut, mulai dari keripik, abon, dendeng dan makanan ringan.
Untuk membuat berbagai olahan belut tersebut, ia memasok sekitar 50 kilogram (kg) belut setiap hari. Selain dari hasil penangkaran sendiri, Fajar memenuhi kebutuhan belut dari berbagai daerah, seperti Lampung. Maklum budidaya belut ini masih dipengaruhi oleh musim. "Pada bulan Juni hingga Oktober, jumlah belut hanya sedikit karena musim kemarau," ujarnya.
Berbagai kudapan dengan bahan baku belut ini juga diproduksi Komalasari yang berasal dari Sukabumi Jawa Barat. Dengan mengusung merek Flamboyan, aneka ragam olahan belut buatan Komalasari sudah merajai berbagai toko oleh-oleh dan rumah makan di Sukabumi.
Seperti Fajar, di tangan Komalasari belut juga disulap menjadi kudapan yang enak nan bergizi. Tak tanggung-tanggung, produk berbahan belut yang dibuat perempuan yang ini mencapai 20 macam. Terdiri dari, dendeng belut, abon, keripik, bakso, nuget, pepes sampai jamu sebagai obat liver dan tipus.
Setiap hari, Komalasari membutuhkan belut sekitar 100 kg. Sejauh ini, pasokan belut bagi usaha Komalasari lancar-lancar saja. Sebagai ketua kelompok tani pembudidayaan belut di daerahnya, Komalasari banyak mendapatkan suplai dari para anggota kelompok binaannya. "Saat ini, sudah ada sekitar 250 kelompok peternak belut di daerah saya," ujarnya.
Dengan bantuan 12 karyawannya, tiap hari Komalasari bisa menghasilkan sekitar 25 kg dendeng atau 25 kg abon. Namun, keripik belut paling dominan ketimbang produk berbahan baku belut lainnya.
Tiap hari, ia bisa menghasilkan 40 kg keripik belut. Produksi abon dan dendeng lebih sedikit. "Tiap 100 kg belut yang dibuat hanya akan menghasilkan 25 kg dendeng atau abon. Hasilnya memang lebih sedikit, karena mengalami penyusutan ketika dimasak," jelasnya.
Sementara, dengan pasokan belut sebanyak 50 kg, Fajar bisa menghasilkan 20 kg keripik belut. Untuk menyajikan beragam sajian belut, pengolahannya cukup sederhana. Komalasari mencontohkan cara pembuatan dendeng. Pertama-tama, belut dibersihkan dan dibuang isi perutnya. Setelah bersih, belut dipukul-pukul hingga pipih, kemudian dicuci lagi dan ditiriskan.
Proses berikutnya adalah pemberian bumbu, berupa ketumbar, gula merah, bawang putih, garam dan rempah. Setelah selesai, tahap selanjutnya adalah merebus daging belut itu hingga bumbunya meresap. Terakhir, jika sudah empuk dan bumbu meresap, daging belut itu pun mulai dijemur.
Banderol harga produk olahan belut ini juga tergolong mahal. Keripik dan snack belut yang ditawarkan Fajar misalnya, harganya berkisar Rp 85.000 per kg. Harga dendeng lebih mahal lagi, yakni Rp 120.000 per kg. Harga abon belut boleh dibilang paling mahal, yakni mencapai Rp 150.000 per kg.
Komalasari menjual aneka makanan berbahan belut itu di kisaran Rp 150.000 per kilogram. Baik itu keripik belut, dendeng atau abon. Pasar penjualan belut membentang dari dalam negeri hingga mancanegara. Selain di Jawa, Komalasari menjual makanan olahan berbahan baku belut ke Kalimantan dan Bali. Dia juga mengirim produk olahannya hingga ke Malaysia dan Korea Selatan.
Fajar memasarkan produk berbasis belut ini di Jabotabek, Nusa Tenggara Timur serta ke Malaysia. Omzetnya pun lumayan. Mereka bisa meraup omzet Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News