kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Laba renyah dari pembuatan keripik paru asli Salatiga


Selasa, 28 Juni 2011 / 15:09 WIB
Laba renyah dari pembuatan keripik paru asli Salatiga
Deretan film hingga drama Korea terbaik dari para pemeran drakor Coffe Prince.


Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi

Kota Salatiga, di Provinsi Jawa Tengah memiliki tangan terampil yangmengolah paru sapi menjadi keripik nan gurih. Peminat keripik dari paru itu bahkan datang dari luar kota, hingga Jakarta. Alhasil, produsen keripik paru mendulang omzet hingga Rp 100 juta perbulan.

Selain terkenal dengan cemilan enting-enting gepuk, Kota Salatiga, Jawa Tengah, tersohor dengan pembuatan keripik paru sapi. Makanan ringan keripik paru dari Kota Salatiga itu kerap menjadi incaran buah tangan oleh wisatawan yang datang ke kota yang berada di lereng gunung Merbabu itu.

Purboningsih, pemilik usaha keripik paru cap Bu Pur, sesumbar bahwa pelanggan usaha keripik paru miliknya datang dari kota Yogyakarta, Tangerang, Bandung, serta Jakarta. "Termasuk di Salatiga sendiri sudah ada grosir cemilan yang menjadi pelanggan saya," tutur Purboningsih yang sudah empat tahun berjalan membangun usaha ini.

Setiap bulan, masing-masing pelanggan bisa memesan dua sampai tiga kali. Untuk memenuhi setiap pesanan, Purboningsih mesti mempersiapkan rata-rata 2 kuintal paru, atau setara dengan sekitar 500 bungkus.

Peluang bisnis membuat kripik paru sudah lebih dulu dilakoni Sri Yuniati yang memproduksi keripik paru bermerek usaha Cap Lombok. Sri, panggilan akrab dari pengusaha asal Mrican, Salatiga, ini telah memproduksi keripik paru sejak 20 tahun silam. Keripik paru produksinya juga merambah ke daerah-daerah lain seperti Semarang, Bogor, Jakarta, dan Tangerang. "Hanya 25% keripik paru produksi kami yang dipasarkan di Salatiga. Sisanya dikirim keluar kota," terang Sri.

Harga keripik paru bikinan Purboningsi dan Sri dipatok dalam kisaran Rp 80.000 per kilogram (kg). Harga keripik paru dalam kemasan dengan ukuran lebih kecil (1/4 kg) Rp 25.000. Adapun keripik yang dikemas dalam kaleng dan berbobot 1,35 kg dijual dengan harga Rp 145.000.

Untuk mengolah kerupuk paru, kedua pelaku usaha keripik itu mendapat pasokan bahan baku dari rumah pemotongan sapi di Salatiga. Produsen keripik paru sapi Salatiga kompak mencari bahan baku paru sapi dari daerah mereka sendiri, menghindari membeli paru sapi dari kabupaten tetangga seperti Boyolali. "Kami khawatir paru sapi daerah lain bersumber dari sapi glongongan," kata Sri. Sapi glonggongan adalah sapi yang diberi minum sebelum disembelih, untuk menaikkan bobot.

Untuk mendapatkan paru segar berkualitas, paling tidak mereka merogoh kocek hingga Rp 40.000 per kg. Rata-rata Sri butuh sekitar 50 kilogram paru setiap hari. Sri bisa mengenali paru bermutu baik dari warna dan kekeringan paru. "Paru yang bagus berwarna jambon (merah muda) cerah, dan tidak mengandung air," terang Sri.

Dari setiap 50 kg paru yang dibeli, yang bisa terolah hanya setengah. Sebab, terjadi penyusutan paru selama proses produksi. Sebelum digoreng dan dicampur tepung bumbu, paru harus direbus dahulu. Setelah direbus, paru kemudian diiris tipis agar renyah saat dikonsumsi, "Ketebalan paru harus diperhatikan agar renyah," terang Sri.

Walaupun ketebalan paru tidak diukur saat mengiris, Sri mengaku sudah hafal ukuran ketebalan irisan paru itu. Jika tidak hati-hati saat mengiris, bisa-bisa tangan dan jemari menjadi korban.

Kendala dari pembuatan keripik paru itu adalah harga bahan bakar gas elpiji dan minyak tanah yang mahal. Oleh karena itu Purboningsih atau Sri Yuniati memilih menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Selain murah, penggunaan kayu bisa memberikan efek harum pada keripik. "Wanginya bisa beda dan lebih khas," kata Sri.

Dalam sebulan, Sri bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta. Adapun Purboningsih mengantongi omzet sebesar Rp 30 juta. Pendapatan mereka bisa melonjak hingga dua kali lipat saat bulan Ramadhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×