Reporter: Rivi Yulianti, Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Songket lombok memang belum sepopuler kain sejenis dari Padang atau Palembang. Namun belakangan, songket lombok kian banyak peminatnya terutama turis asing. Harganya yang lebih murah juga menjadikannya alternatif bagi banyak orang yang mencari songket. Desa Sukarara, Lombok menjadi pusat penghasil kain ini.
M. Nizom Helmi, pemilik Intan Art Shop di Sukarara, Lombok Tengah, mengungkapkan, saat ini pembeli songket lombok justru banyak datang dari Eropa, Jepang, dan Australia. "Kalau pembeli lokal, paling dari masyarakat Lombok saja yang menggunakan kain ini untuk upacara adat," ungkap Nizom.
Wisatawan mancanegara yang datang ke Sukarara tidak hanya berburu songket lombok sebagai oleh-oleh, tapi juga untuk dijual kembali di negeri asal mereka.
Seperti songket lainnya, songket lombok ditenun dengan cara tradisional. Pembuatannya memakan waktu yang lama. Tingkat kerumitan pembuatan songket ini juga terbilang tinggi, sehingga penenun harus memiliki keterampilan dan ketelitian tinggi.
Proses pembuatannya, dimulai dari mempersiapkan benang dengan dibantu dengan alat pemberat yang diputar-putar dengan jari. Nizom menyebut cara ini sebagai penyisiran. Setelah itu, barulah masuk tahap pembuatan motif yang paling sulit.
Motif songket lombok bermacam-macam, misalnya, kembang dan hewan. Ada juga motif simbol daerah Lombok. Bisanya kain dengan motif ini dipakai dalam upacara adat. Motif paling favorit: burung merak. Nizom bilang, motif ini yang paling sering dipilih anak muda-mudi Lombok karena melambangkan cinta.
Songket motif subhanale adalah songket lombok paling mahal harganya. Yakni, bisa mencapai Rp 2 juta dengan panjang dua hingga empat meter. Meski mahal, kain ini juga menjadi pilihan pembeli lokal maupun asing.
Bidik pasar ekspor
Setiap bulan, Nizom mampu meraih omzet hingga Rp 20 juta. Namun, saat musim liburan, penghasilannya melonjak mencapai Rp 50 juta. Ia juga rutin saban bulan memasok songket lombok ke Jepang dan Australia. "Saya punya langganan di sana, setiap bulan saya mengirim 10 hingga 20 kain," tutur Nizom, yang mengirim songket motif Subahnale seharga Rp 500.000 sampai Rp 2 juta.
Nizom memang membidik pasar luar untuk penjualan songket lomboknya. Sebab, pembeli mancanegara membeli dengan harga pantas. "Kalau yang membeli orang lokal, suka ditawar dengan harga yang rendah. Makanya, saya lebih suka menjual songket lombok ke Bali karena di sana, pembelinya banyak turis asing," kata Nizom.
Beda dengan Pinkan Kapojos, pemilik Kayya Shop di Tangerang, Banten. Berawal dari hobinya jalan-jalan dan pernah menetap di Lombok, ia akhirnya memasarkan songket Lombok dari para perajin di Desa Sukarara.
Pinkan menjual bermacam motif, seperti keker, ucik, pinggiran, dan bunga dengan harga bervariasi. Kain ini masih berwujud meteran. Harganya, mulai Rp 60.000 sampai Rp 100.000 per meter.
Harga ini terbilang sangat murah jika dibandingkan songket padang atau palembang yang bisa delapan kali lipatnya. Meski sama-sama berbahan dasar benang emas, kecantikan songket lombok memang masih kalah dibandingkan songket padang atau palembang. Karena itu, "Harganya lebih murah, namun harga murah ini justru sebagai daya tarik utama," ujarnya. Tak heran, kelas menengah pun mampu membeli.
Menurut Pinkan, walaupun kurang cantik, popularitas songket lombok justru nomor wahid di pasar internasional. "Karena Lombok sudah lebih terkenal sebagai daerah wisata dan banyak dikunjungi turis asing dibanding Palembang atau Padang," katanya.
Itu sebabnya, Pinkan dengan mudah memasarkan songket lombok ke luar negeri. Sekitar 70% dari total penjualan untuk pasar ekspor ke Australia. Banyak reseller-nya yang menjual ke Amerika Serikat dan Jepang. Ia menaikkan harga hingga 1,5 kali untuk pasar Australia.
Pinkan menambahkan, pasar ekspor paling menyukai kain berwarna netral yang berfungsi sebagai hiasan interior. Contohnya, taplak meja. Sementara, pasar lokal lebih banyak mencari songket lombok berwarna-warni dalam bentuk meteran untuk dijahit kembali menjadi sarung atau pakaian. Dengan margin 20%, Pinkan rutin meraup omzet Rp 50 juta per bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News