kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengumpulkan laba dari usaha furnitur berbahan ban bekas


Jumat, 25 Maret 2011 / 15:47 WIB
Mengumpulkan laba dari usaha furnitur berbahan ban bekas
ILUSTRASI. Petugas menyusun tumpukan uang di Cash Pooling Bank Mandiri, Jakarta


Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi

Berbekal kreativitas, barang bekas bisa disulap menjadi produk yang memiliki nilai jual tinggi dan mengurangi limbah. Ambil contoh, ban bekas bisa diolah menjadi kursi dan meja. Saban bulan, pendapatan perajin ban bekas bisa mencapai Rp 75 juta.

Tak ada kayu, ban bekas pun jadi. Ungkapan ini tepat menggambarkan para perajin furnitur yang mengandalkan ban bekas sebagai bahan baku pengganti kayu.

Dengan memanfaatkan bahan limbah plus kreativitas, mereka mengubah ban bekas menjadi perabot yang berguna dan bernilai ekonomi.

Di tangan Keri Saryadi, ban yang sudah tak layak pakai dibuat jadi aneka furnitur, seperti kursi dan meja. Banyak orang menyebut perkakas ini sebagai bandol, kepanjangan dari ban bodol.

Keri, perajin ban bekas asal Karangasem, Gilangharjo, Pandak, Bantul mulai memanfaatkan ban bekas sejak 1996 silam. Ia menggunakan ban bekas sebagai bahan pembuatan furnitur lantaran harganya murah.

Selain itu, rasa kepedulian terhadap lingkungan juga mengusiknya. "Dulu ban-ban bekas dibuang begitu saja, serta hanya dibakar," tutur Keri. Dari situlah, ia tergerak mengolah ban bekas menjadi produk-produk yang bermanfaat.

Senada dengan Keri, perajin lain yang memanfaatkan ban bekas sebagai bahan baku, Aditya Robi mengungkapkan, rasa kepedulian terhadap lingkungan lah yang mendorongnya menggeluti usaha ini. Pemilik Realindo Rubber asal Ponorogo, Jawa Timur ini mulai terjun ke usaha pembuatan furnitur dari ban bekas sejak tahun 2004 lampau.

Pembuatan furnitur dari ban bekas tidaklah mudah. Ban bekas harus melalui beberapa proses hingga siap diolah menjadi perabot.

Pertama-tama, ban bekas yang diperoleh dalam keadaan utuh dibelah dan diiris menjadi beberapa bagian dalam pelbagai ukuran. Belahan besar atau pinggiran ban yang mengandung kawat dipakai sebagai kerangka furnitur. Sedangkan, irisan yang kecil dijadikan bahan anyaman untuk alas kursi atau meja.

Pengerjaan furnitur juga butuh ketelatenan dan kesabaran. Maklum, memaku pada bahan karet tak semudah memaku pada bahan kayu. Selain itu, butuh keahlian khusus untuk merangkainya menjadi furnitur yang cantik.

Setelah berbentuk meja dan kursi, perabot ini juga harus dilapisi cat supaya tampil lebih menarik. Bila perlu, bantalan kursi pun diberi spon untuk menambah kenyamanan orang yang duduk di atasnya.

Dengan dibantu delapan karyawannya, Aditya bisa membuat empat sampai lima set furnitur meja dan kursi dengan ukuran besar dalam seminggu. Sementara, untuk furnitur ukuran kecil, ia bisa membikin hingga 10 set.Sebagai catatan, satu set furnitur terdiri dari empat kursi dan satu meja.

Adapun Keri bisa memproduksi satu set furnitur hanya dalam waktu dua hari. Untuk membuat satu set perabot meja dan kursi, Aditnya membutuhkan sekitar 14 ban bekas kendaraan roda empat. Rinciannya, pembuatan satu kursi membutuhkan empat ban bekas. Lalu, dua ban bekas diperlukan untuk membuat satu meja. "Hampir 90% bahan baku produk-produk furnitur ini merupakan ban bekas," ungkap Keri.

Baik Keri maupun Aditya memperoleh pasokan ban-ban bekas dari daerah-daerah di sekitar bengkel usaha mereka. Tentu saja, pasokan yang hanya dari sekitar bengkel usaha ini untuk menekan biaya atawa ongkos produksi.

Harga pembelian bahan baku ini cukup bervariasi. Keri membeli ban bekas mobil kecil dengan harga Rp 4.000 per buah. Adapun ban bekas yang berasal dari kendaraan-kendaraan besar, seperti truk dan bus, seharga Rp 11.000 per buah.

Patokan harga ban bekas yang dibeli Aditya justru lebih tinggi. Ia membeli ban bekas mobil-mobil minibus hingga colt diesel dengan harga berkisar Rp 12.500 sampai 15.000 per buah. Kemudian, ban-ban dengan ukuran besar, seperti bus dan truk tronton, seharga Rp 20.000 hingga 30.000. per unit.

Lantaran bahan baku yang relatif murah inilah, harga jual furnitur ban bekas cukup miring. Satu set meja kursi buatan Keri, misalnya, hanya berlabel harga Rp 300.000 hingga Rp 400.000.

Banderol harga furnitur Aditya lebih mahal. Ia mematok harga antara Rp 600.000 sampai 750.000 untuk satu set perabot berukuran besar. Sedang, furnitur ukuran kecil dijual Rp 250.000 sampai Rp 300.000. "Mahal tidaknya furnitur dari ban bekas ini tergantung dari ukuran ban yang dipakai serta ukuran yang ada di meja kursi tersebut," tutur Aditya.

Meski harganya murah, dalam satu bulan, omzet penjualan produk furnitur dari ban bekas ini cukup menjanjikan. Dalam sebulan, Keri bisa mengantongi omzet hingga Rp 20 juta.

Pendapatan lebih besar diperoleh Aditya. Ia bisa mengumpulkan pendapatan Rp 50 juta sampai Rp 70 juta tiap bulan. "Waktu yang ramai untuk penjualan meja kursi dari ban bekas ini adalah, pada saat menjelang Lebaran dan masa sehabis Lebaran," paparnya.

Furnitur ini pun tak hanya menyasar pasar lokal. Keri memasarkan produknya hingga luar negeri. Ia mengekspor hingga ke Jerman, Kanada dan Australia. Tetapi, "Untuk pangsa pasar luar negeri, mereka lebih suka dengan produk-produk yang polos tanpa pelapis cat," kata dia.

Furnitur dari ban bekas ini punya banyak peminat lantaran perawatannya mudah. Meja dan kursi cukup dilap dengan sedikit air untuk menghilangkan debu-debu yang menempel di meja dan kursi tersebut.

Selain membuat furnitur, baik Keri maupun Aditya juga memproduksi barang-barang lain yang juga berbahan baku ban-ban bekas. Di antaranya, sandal, pot bunga, bingkai foto, patung, mainan anak-anak, dan ember.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×