kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meniti usaha fashion yang selalu mengikuti tren


Senin, 27 Januari 2014 / 13:23 WIB
Meniti usaha fashion yang selalu mengikuti tren
ILUSTRASI. Kacang Tolo


Reporter: Revi Yohana, Tri Sulistiowati, Oginawa R Prayogo | Editor: Tri Adi

Selain makanan, pakaian merupakan bisnis yang tak pernah kehilangan pamor dan selalu menjanjikan keuntungan besar di negara ini. Maklum, pakaian merupakan salah satu kebutuhan utama dalam hidup. Sementara jumlah penduduk Indonesia sangat banyak dan terus bertambah.

Apalagi, seiring pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat yang meningkat, kini busana tak sekadar berfungsi sebagai alat penutup tubuh. Busana atau fashion menjadi aksesori untuk mempercantik penampilan, sekaligus bagian dari gaya hidup sesuai tren yang terus berkembang.

Tak heran, bisnis fashion dari hulu ke hilir terus berkembang seakan tak lekang oleh pergantian waktu. Salah satunya adalah toko atau butik yang menjajakan aneka busana, mudah ditemukan di pusat perbelanjaan atau berdiri di pinggir jalan.

Yang paling mencolok dalam dua tahun terakhir ini adalah kehadiran merek-merek busana kelas dunia yang membuka gerai di kota-kota besar  di Indonesia. Sebut saja di antaranya H&M, Uniqlo, dan Galeri Lafayette. Mereka saling bersaing untuk memperebutkan pasar di negara yang pertumbuhan kelas menengahnya meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini.

Meski diserbu oleh merek-merek asing, toko busana lokal tetap memiliki pasar tersendiri. Apalagi jika toko atau butik itu mengibarkan merek sendiri dan mengusung ciri khasnya. Maklum, bagaimanapun itu menyangkut selera masing-masing orang dalam berpakaian. Poppy Dharsono, perancang busana kawakan, menilai potensi pasar usaha butik masih sangat bagus. “Pasarnya luar biasa. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat meningkat, tentu akan semakin memperhatikan fashion,” katanya.

Pendapat bernada sama diutarakan perancang busana Ririn Rinura, pemilik brand Rinura Fashion Designer. Desainer baru terus bertambah dan acara peragaan busana semakin sering digelar. Hal lain yang mendukung perkembangan bisnis fashion adalah semakin banyak masyarakat yang mulai mencintai produk dalam negeri. "Dari sisi bisnis, usaha ini akan memberikan prospek menarik," katanya.

Ririn mengaku bisa mencatatkan omzet sekitar Rp 100 juta hingga Rp 150 juta per bulan. Sementara margin keuntungannya mencapai 30% hingga 40%. Harga pakaian buatannya dibanderol seharga Rp 1,5 juta hingga Rp 7 juta. "Yang paling banyak terjual itu pakaian di kisaran harga Rp 2,5 juta–Rp 3 juta," imbuhnya.

Omzet yang lebih besar ditangguk oleh Lenny Agustin. Perancang busana ini mengklaim bisa memperoleh omzet sekitar Rp 260 juta setiap bulan dengan margin bersih sekitar 35% dari omzet tersebut. Lenny memiliki dua merek pakaian. Pertama, "Lennor" dengan konsep kasual dan bisa dipakai sehari-hari. Banderol harganya hingga Rp 1 juta. Kedua, merek "Lenny Agustin" dengan desain elegan, seperti pakaian kebaya dan gaun. Harga jualnya antara Rp 1,5 juta hingga Rp 100 juta.

Lain lagi dengan Kiki Chan, pemilik merek busana Fragrance Kikichan asal Bandung yang sudah merintis usahanya sejak tahun 2007. Ia mengaku biasa menerima 20 pesanan hingga 30 pesanan dalam sebulan. Sementara kisaran harganya antara Rp 575.000 hingga Rp 25 juta per pakaian.

Meski terlihat menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, tidak mudah menggeluti usaha fashion butik ini. Para perancang busana dan pemilik butik itu mengaku hasil tersebut diperoleh melalui keuletan dan waktu yang panjang serta strategi tepat agar rancangannya dilirik masyarakat.

Selain itu, ada beberapa faktor yang harus dimiliki seorang wirausaha untuk mengembangkan usaha butik. Berikut ini segelintir poin penting yang disarikan dari pengalaman beberapa perancang busana dan pemilik butik tersebut.


• Modal

Meski modal berperan penting dalam mengawali bisnis ini, Lenny Agustin menilai faktor itu masih bisa disiasati. Ia berkisah, memulai usahanya sejak tahun 2001 silam dengan modal sebesar Rp 20 juta. Sebagian dari dana itu digunakannya untuk menyewa tempat di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, selama dua tahun. Di lokasi ini dia mendirikan butik sekaligus tempat workshop. Selain itu, modal awal tersebut digunakan untuk membeli bahan baku, mesin jahit, perlengkapan, dan dana cadangan untuk menggaji karyawan.

Saat mengawali usaha, Lenny dibantu empat orang karyawan. "Kalau baru memulai usaha, sebaiknya jangan banyak-banyak dulu pegawainya," katanya memberikan saran. Opsi lain untuk menyiasati minimnya tenaga karyawan pada awal usaha adalah merajut kerja sama dengan penjahit luar.

Sementara Kiki memulai usahanya pada tahun 2007 dengan modal dana cuma Rp 3 juta. Dana tersebut dipakai untuk membeli bahan baku dan biaya operasional. Nah, uang hasil penjualan tersebut kemudian diputarnya lagi untuk menjadi tambahan modal.

Berbeda dengan Ririn, yang merogoh kocek cukup dalam untuk membuka usaha butiknya. Wanita kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 27 tahun silam ini menghabiskan duit sekitar Rp 250 juta. Uang itu digunakan untuk membeli berbagai peralatan, bahan baku, gaji pekerja, serta membeli tempat usaha.


• Ciri khas

Selain pendanaan, sejatinya modal utama untuk membangun usaha butik busana dengan desain sendiri adalah keterampilan dan pengetahuan di bidang desain. Pengetahuan ini bisa dari sisi teknis, seperti pengetahuan mengenai badan manusia, jenis kain, hingga perkembangan tren terbaru.

Pengetahuan tersebut penting agar pemilik butik bisa memiliki dan mengembangkan ciri khasnya sendiri. Contohnya Lenny yang mengklaim busana yang dijajakan di butiknya memiliki ciri khas penggunaan ide dasar tradisional yang diaplikasikan secara funky dan bebas. Ia banyak menggunakan kain tradisional Indonesia seperti lurik, kebaya, dan tenun makassar. Meski begitu, bahan-bahan tradisional tersebut didesain dengan aneka warna, girly, dan berjiwa muda.

Menurut Lenny, semangat kebebasan dengan memadupadankan aneka warna, motif dan model dalam dunia fashion sangatlah penting. "Yang seperti itu baru berasa fashion. Fashion itu, kan, ekspresi diri manusia," ujar wanita kelahiran Surabaya, 40 tahun silam ini.

Kiki pun menilai ciri khas tersendiri sangat penting dalam berbisnis butik busana. Ia bilang, merek Fragrancekikichan menjadi kuat berkat ciri khas dan karakternya yang mengusung gaya elektrik. Dengan ciri tersebut, dia membidik target pasar yakni konsumen berusia 17 tahun–35 tahun.

Sementara Ririn fokus membuat dan memasarkan busana kebaya, baju, dan gaun malam. Ciri khas yang ditonjolkan dari barang dagangannya itu adalah glamor, penuh warna, dan feminin. Dengan memiliki ciri khas tersendiri itu, dia mengaku bisa meraih kesuksesan.


• Pasokan bahan baku

Jika sudah memiliki ciri khas dan semangat menyala di dunia fashion, hal lain yang harus diperhatikan adalah pasokan bahan baku busana. Bahan baku ini cukup penting dalam menentukan kesuksesan usaha butik busana.

Dengar saja pengalaman Ririn saat memulai usahanya tahun 2008. Ia sempat gagal dan usahanya terpaksa gulung tikar. Ceritanya, dia bekerjasama dengan rekannya membuka butik di Kemang, Jakarta Selatan. Busana yang dia jajakan sebagian dibeli dari pihak lain dan sebagian lagi dijahit sendiri. Kegagalan menghampirinya karena menjual produk dengan harga terlalu mahal. Maklum, ia membeli bahan satuan dengan ongkos jahit yang mahal.

Meski sempat bangkrut dan menghabiskan uang banyak di usaha pertamanya, Ririn tak patah arang. Ia bahkan memberanikan diri masuk sekolah mode dan desain tahun 2010. Di sekolah mode tersebut, ia belajar langsung membeli perlengkapan dan bahan baku. Setelah lulus di tahun 2011, Ririn kembali membuka butiknya.

Kini, Ririn punya jurus ampuh untuk mendapatkan bahan baku berharga murah namun berkualitas bagus. Dia membeli kain secara partai besar atau gulungan. “Bisa dapat potongan sampai 25%,” ujar Ririn, yang gemar berburu bahan kain di kawasan Mayestik dan Blok M, Jakarta Selatan.

Urusan bahan baku ini memang tak bisa dianggap sepele. Poppy Darsono bahkan kerap blusukan untuk mencari bahan yang sesuai bagi butiknya. Ia mengaku sering berkunjung ke perajin kain di daerah seperti Jepara, Kebumen, dan Solo. “Saya juga menjalin kerjasama dengan beberapa pengusaha mikro di daerah,” imbuhnya.

Hal serupa dilakoni Lenny Agustin. Ia banyak menggunakan kain tradisional dalam busana rancangannya. Padahal, harga bahan tradisional di Jakarta mahal dan berkali-kali lipat lebih tinggi dari harga kain tradisional di daerah.

Demi menyiasati masalah itu, Lenny rajin mencari langsung bahan baku ke perajin di daerah. Ia mengantongi lebih dari seratus nama perajin. “Setiap ke daerah saya selalu blusukan ke perajin, mengecek harga dan melihat karya mereka yang unik, berkualitas, tapi harganya tidak mahal,” katanya. Ia juga rutin bekerjasama dengan puluhan perajin tersebut.


• Strategi bisnis

Lazimnya di semua bidang usaha, pemilik butik busana juga harus menerapkan strategi bisnis agar usahanya berkembang dan tidak merugi. Salah satu strateginya adalah menetapkan harga jual. Menurut Lenny, harga bahan baku biasanya sebesar 30% hingga 35% dari harga jual. Ini merupakan perhitungan yang ideal. Rinciannya, dari pendapatan itu, idealnya sepertiga untuk bahan baku, sepertiga untuk biaya operasional, dan sepertiga untuk promosi dan mengikuti peragaan busana.

Strategi bisnis lain yang perlu dilakukan adalah cara promosi dan pemasaran. Menurut Kiki, pemasaran dari mulut ke mulut atau rekomendasi orang terdekat masih menjadi strategi paling ampuh. Makanya, ia sangat menjaga kepercayaan dan kepuasan pelanggannya. “Dari situ mereka jujur merekomendasikan produk saya," katanya.

Memang, cara ini tidak bisa menghasilkan dalam waktu singkat seperti beriklan di media atau mengikuti acara peragaan busana. Kiki mengaku beberapa kali mengikuti fashion show di Bandung dan Jakarta. Produknya juga kerap mengisi seksi khusus fashion di majalah ternama dalam dan luar negeri.

Lenny juga menganggap pemasaran dari mulut ke mulut merupakan cara paling ampuh menggaet konsumen busana. Agar menjadi bahan omongan masyarakat, tak cukup hanya memuaskan pelanggan dari sisi produk. Ia bilang, kepribadian si pemilik butik juga harus baik. Apalagi, jika menyasar pembeli kelas menengah ke atas; pelayanan yang baik, ramah, dan menyenangkan sangat penting.

Konsumen yang datang sangat penting dijaga. Leny mengenang bagaimana sulitnya mendapatkan pelanggan ketika mengawali usahanya. “Satu tahun pertama itu bisa nyaris tak ada yang minta jahitan,” katanya. Agar dikenal, dia membuat foto produknya dan mencetak di dalam brosur. Lalu, brosur itu disebar di sekitar butiknya.

Selain itu, Lenny rajin mengikuti lomba desain busana. Tujuannya agar namanya semakin dikenal masyarakat. Dari situlah, ia kerap diminta mengisi rubrik fashion di berbagai media massa dan diundang mengikuti fashion show. Pelanggan Lenny saat ini mulai dari kalangan artis hingga istri para pejabat. “Hampir semua pakaian panggung Gita Gutawa dari saya,” imbuhnya.

Sedangkan Ririn memiliki cara unik dalam memasarkan produknya. Ia rajin mengikuti arisan ibu-ibu lantaran target pasarnya adalah kaum sosialita dan ibu-ibu pengusaha dari golongan menengah ke atas. “Saya ikut hingga 10 arisan,” katanya.

Ia juga berpromosi dengan menyediakan busana bagi artis-artis tertentu. Ini menjadi ajang promosi busananya secara tidak langsung di acara televisi maupun acara off air si artis itu. Kini, banyak artis yang menjadi pelanggannya, seperti Mayangsari, Indra Brugman dan Ussy Sulistyowati.


• Tren mode

Dalam berbisnis butik, tren busana dan mode yang tengah berkembang harus selalu diperhatikan. Biasanya, tren fashion itu sudah bisa diperkirakan sejak setahun sebelumnya. Seperti, tren tahun ini. Menurut Poppy Dharsono, model berpotongan feminin dan elegan akan banyak dipilih para konsumen seiring meningkatnya peran wanita karier. Dari sisi warna, biru kehijauan, oranye dan cokelat akan mendominasi.

Mantan peragawati ini menambahkan, fashion Indonesia akan didominasi motif kedaerahan. Misalnya batik Jawa Tengah dan batik Kalimantan. Agar tidak jenuh, motif floral juga masih akan menjadi pilihan para desainer busana.

Berbeda dengan taksiran Ririn yang bilang, tren tahun ini akan kembali ke kasual, simpel, dan klasik dengan detail unik. Sementara warnanya colorfull dengan paduan warna cerah akan menjadi favorit.

Sementara itu, Lenny melihat tren digital akan sangat mendominasi busana tahun ini, baik dari motif, bahan, bentuk, hingga warna. Motif print digital akan kian digemari dengan efek transparan. Sedangkan warna yang menjadi tren adalah warna cerah dengan motif ekspresif. “Tapi saya ingin tetap setia pada bahan tradisional, tapi diusahakan look digital,” ujar wanita penggemar perancang dunia Christian Lacroix, Vivian Westwood, dan Kenzo ini.

Kiki menyampaikan pendapat yang tak jauh beda. Menurutnya, tren tahun ini adalah busana dengan potongan lebih arsitektural, geometris, dan modern dengan detail tiga dimensi. Motif dan coraknya cenderung pencampuran tabrak corak, motif bunga, dan geometris.

Setiap perancang tentu sah punya taksiran tren busana tahun ini. Itulah ciri khas dagangan mereka. Yang penting, bagi pemula, semua "rambu" para senior itu diperhatikan agar usaha bisa berkembang!        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×