Reporter: Ratih Waseso | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - SEMARANG. Sebagai salah satu buah tangan Semarang, yang kerap dibeli oleh para pendatang adalah wingko babat. Terlebih saat Lebaran kemarin, banyak orang yang membeli camilan berbahan baku kelapa, tepung beras ketan dan gula tersebut.
Kondisi ini dirasakan oleh Fajar Sapto Nugroho, pengelola wingko babat cap Tiga Kelapa Muda dan Yoko Setiyo, pemilik dan pengelola wingko babat cap Pratama yang berbasis di Kampung Tematik Jajan Pasar di Tumpang, Gajah Mungkur Semarang, Jawa Tengah.
Fajar dan Yoko satu suara bahwa saat liburan Lebaran atau musim liburan lainnya, permintaan wingko babat milik mereka selalu mengalami melonjak. Kenaikannya bisa berlipat-lipat hingga 400%. "Itu bisa mencapai 1.000 tas–1.500 tas wingko babat per harinya," kata Fajar kepada KONTAN.
Untuk menyiasati lonjakan permintaan tersebut, Fajar dan karyawannya mulai lembur. Kemudian di H+1, menambah antara tiga sampai empat karyawan.
Yoko Setiyo juga menceritakan hal serupa. Pada hari-hari biasa saja, wingko babat cap Pratama bisa terjual hingga 500 tas per hari. Nah pada Lebaran kemarin, ia sanggup menjajakan 2.000 tas wingko babat per hari.
Keberhasilan para pemain wingko babat tersebut juga berkat kreasi yang mereka lakukan. Ambil contoh Fajar yang membuat merek yang rada mirip dengan salah satu wingko babat legendaris, yakni cap Pohon Kelapa.
Ia pun memberi label wingko babatnya menjadi cap Tiga Kelapa Muda. "Dulu pesaing masih sedikit," katanya memberi alasan.
Cara lain yang dilakukan para pemain adalah dengan menambah varian rasa selain rasa asli kelapa. Kalau diperhatikan, selain rasa asal, ada juga rasa yang lain, seperti cokelat, nangka, atau durian.
Menurut Yoko, empat rasa wingko babat tersebut adalah yang pas untuk bahan baku wingko. Sebab ia pernah mencoba membuat rasa baru yaitu pisang dan moka, tapi ia sebut sebagai varian rasa yang gagal. "Produk menjadi lembek dan rasanya tidak masuk dengan bahan baku wingko babat," jelasnya.
Namun dibalik sukses ini, yang namanya usaha, pasti ada kendala. Di bisnis wingko babat ini kendala utama adalah kerap terjadi lonjakan bahan baku, terutama kelapa dan gula.
Misalnya harga kelapa per butirnya saat ini sudah dua kali lipat dari Rp 7.000–Rp 8.000 per butir, menjadi Rp 16.000–Rp 18.000 per butir.
Untuk menyiasatinya, Fajar pun terpaksa mengerek harga wingko babat racikannya. Sebab ia tidak ingin mengurangi kualitas produknya. Untungnya, para konsumen memakluminya. Sedangkan Yoko mencari kelapa ke petani untuk bisa mendapatkan harga lebih murah.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News