Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Terkadang, sebuah gagasan, biasanya bisa berujung menjadi inspirasi usaha.
Inilah yang dilakukan Bejo Prichatianto. Pemuda asal Desa Kemiri Barat, Kecamatan Subah, Batang, Jawa Tengah, ini tak pernah menyangka, ide sederhananya mengolah limbah kayu jati bisa menjelma jadi label yang dikenal hingga luar negeri.
Ini berangkat dari keresahan Bejo melihat banyak akar kayu jati yang dianggap tak berguna. Alih-alih dibiarkan menumpuk sebagai limbah, ia mencoba mengolah bagian kayu itu dengan sentuhan resin. Hasilnya, terciptalah produk handmade yang tak hanya estetik, juga punya cerita lingkungan di baliknya.
Akhirnya di 2017, Bejo memberi label produk tersebut: Bjo Furface. Hingga label ini punya dua kategori utama. Pertama, fesyen unik berupa tas serta sandal kayu dengan konsep pulau dan lautan. Kedua, dekorasi rumah (home decor), seperti furnitur dan jam dinding.
Keunikan dari produk itulah yang membuat Bjo Furface kian berkembang. Dari awalnya hanya dikenal di Batang dan sekitarnya, kini produk buatan Bejo sudah melanglang ke pasar nasional bahkan internasional. Media sosial dan platform e-commerce menjadi pintu utama mengenalkan produknya lebih luas.
"Kalau dulu fokusnya hanya buat pasar lokal, sekarang sudah banyak pesanan dari luar negeri. Orang tertarik karena produknya handmade dan berbahan limbah, jadi ada nilai tambahnya," ujar Bejo kepada KONTAN.
Baca Juga: Jadi Lokomotif Brand Fesyen Lokal
Melihat respons yang positif, Bjo Furface semakin memperkaya produknya. Tak hanya tas dan furnitur, Bejo kini memproduksi jam dinding kayu serta berbagai aksesori. Diversifikasi ini ia lakukan agar bisa menjangkau segmen pasar lebih luas.
Ada tiga hal yang membuat produk Bjo Furface menonjol. Pertama, pemanfaatan limbah kayu jati, khususnya bagian akar, yang disulap menjadi karya bernilai. Kedua, perpaduan kayu dengan resin ramah lingkungan yang membuat produk tahan lama sekaligus unik. Ketiga, desainnya yang personal karena seluruh produk dibuat handmade.
"Setiap produk itu punya karakternya sendiri, tidak ada yang benar-benar sama. Itulah yang bikin orang merasa punya barang eksklusif," jelasnya.
Namun, perjalanan Bjo Furface tidak tanpa tantangan. Dari sisi produksi, keterampilan khusus dibutuhkan karena proses mengolah kayu dan resin dilakukan manual. Bejo pun membangun tim kecil yang terampil agar kualitas produknya tetap terjaga.
Di sisi pemasaran, tantangan utamanya adalah menjangkau lebih banyak pembeli. Untuk itu, Bejo aktif mengikuti berbagai pameran besar. Langkah ini tak hanya menambah jejaring, tetapi juga memberi eksposur media yang lebih luas.
Kini, Bejo menatap pasar global lebih serius. Ia ingin Bjo Furface tak sekadar jadi produk lokal, tapi merek yang dikenal di dunia.
Selanjutnya: Dukung Peningkatan Literasi Keuangan, Airlangga Ajak Generasi Muda untuk Menabung
Menarik Dibaca: Kenalan dengan Oppo F31 yuk, Smartphone dengan Desain Fresh dan Fitur yang Lengkap
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News