Reporter: Fahriyadi, Fitri Nur Arifenie | Editor: Tri Adi
Barang yang kita anggap tak berguna justru acap mendatangkan fulus bagi mereka yang kreatif. Dari shuttlecock bekas, perajin menyulapnya menjadi kupu-kupu nan cantik. Pasar produk kerajinan ini sudah merambah pasar ekspor. Omzetnya pun bisa mencapai puluhan juta.
Barang bekas, seperti shuttlecock, ternyata masih memiliki nilai ekonomi. Dengan sedikit kreativitas, shuttlecock bisa disulap menjadi kupu-kupu untuk mempercantik dinding atau gorden di rumah, serta suvenir pada acara-acara tertentu.
Neni Kusuma, salah satu perajin kupu-kupu dari shuttlecock bekas ini telah memulai usahanya sejak 2005. Kini, pemilik Butterfly Art ini juga telah merambah pasar ekspor. "Produk ini banyak diminati di Malaysia, Korea Selatan dan Jepang," ujar Neni.
Perajin asal Yogyakarta ini mengaku, modal untuk menyulap shuttlecock menjadi kupu-kupu nan cantik ini tak besar. Sebulan, ia hanya membutuhkan dua karung limbah shuttlecock untuk membuat 60.000 hingga 65.000 kupu-kupu. "Satu karung limbah shuttlecock seberat 10 kilogram ini harganya Rp 65.000," ujar Neni.
Neni menjual hasil kerajinan kupu-kupu itu mulai Rp 2.500 per pieces dengan ukuran 7x8 cm hingga Rp 250.000 untuk ukuran 90x100 cm. Neni bilang, jika pesanan sedang melonjak, terutama untuk kebutuhan suvenir pernikahan, harga pun bisa naik hingga 20%. "Karena kupu-kupu untuk suvenir pernikahan memiliki desain khusus dan berbeda dengan produk lainnya," tuturnya.
Sejak menembus pasar ekspor pada 2010 lalu, Neni mengakui omzet terus meningkat. Jika sebelumnya omzet penjualan produk kupu-kupu tersebut hanya sekitar Rp 30 juta hingga Rp 50 juta per bulan, kini, dalam sebulan, ia mampu meraup omzet antara Rp 75 juta hingga Rp 120 juta.
Sayangnya, ketersediaan tenaga kerja untuk memproduksi kerajinan ini tak sebanding dengan besarnya permintaan. Menurut Neni, sulit sekali menemukan tenaga kerja yang sudah terampil. Maklum, pembuatan kupu-kupu ini cukup rumit dan membutuhkan keahlian khusus.
Meski sudah dibantu oleh 13 pekerja, Neni sering kewalahan bisa pesanan terus membanjir. "Bahkan, terkadang, kami harus menolak pesanan tersebut," lanjut Neni. Lantaran mudah mendapatkan bahan baku berupa shuttlecock bekas, Totok Budi Hartanto pun tertarik menekuni bisnis ini sejak tahun 2005.
Pemilik PM Art di Malang mendapatkan bahan baku dari pengumpul shuttlecock bekas. "Kami membeli shuttlecock bekas dengan harga Rp 60.000 per karung," ujar pria 41 tahun ini.
Dalam sebulan, Totok mampu memproduksi antara hingga 10.000 kupu-kupu beraneka bentuk dan ukuran. Ia menjual kupu-kupu itu dengan harga berkisar Rp 800 hingga Rp 2.500 per pieces. Ia bilang konsumen datang dari seluruh Indonesia dan juga luar negeri, salah satunya Jepang.
Selama bergelut pada usaha kerajinan ini, Totok mampu mengumpulkan pendapatan hingga Rp 20 juta setiap bulan. Ia pun bisa memperoleh margin keuntungan hingga 20%.
Kendati penjualan kupu-kupunya sedang lesu pada tahun ini dibandingkan dengan medio 2006-2007, Totok optimistis usahanya tetap berjalan. "Usaha kerajinan kupu-kupu ini unik dan membutuhkan inovasi untuk menghindari kejenuhan," kata Totok.
Ia pun berharap, kerajinan kupu-kupu ini mampu bersaing dengan kerajinan serupa buatan China yang dalam dua tahun terakhir telah merangsek pasar lokal. "Masalahnya kini, kerajinan kupu-kupu buatan China dijual lebih murah dari produk perajin lokal," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News