kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meracik kesenian menjadi tontonan menguntungkan


Kamis, 23 Juni 2011 / 14:12 WIB
Meracik kesenian menjadi tontonan menguntungkan
ILUSTRASI. Karyawan menunjukkan emas logam mulia di kantor Pegadaian Cabang Senen, Jakarta Pusat, Selasa (28/7/2020). Harga emas Antam di Pegadaian pagi ini Rp 1.073.000 per gram (15 September 2020). Tribunnews/Herudin


Reporter: Dian Pitaloka Saraswati | Editor: Tri Adi

Pertunjukan seni mulai mendapat tempat di tengah masyarakat kita. Banyak penyelenggara menampilkan aneka pertunjukan dengan kembali ke tradisi maupun mengusung tema kontemporer. Hanya saja, bisnis ini tidak bisa untung cepat.

Jika bukan karena keinginan para penonton yang kehabisan tiket saat pertunjukan perdana drama musikal Laskar Pelangi pada pertengahan Desember 2010 lalu, mungkin Mira Lesmana masih berpikir-pikir dulu untuk menggelar ulang pertunjukan pada bulan Juli nanti. Maklum, di bisnis pertunjukan, untung tidak hanya diukur dari jumlah orang yang suka.

Mira yang juga pemilik Miles Production bekerja sama dengan Et Cetera Entertainment menggarap drama musikal Laskar Pelangi. Ia mengaku butuh waktu lama untuk menghitung kelayakan bisnis drama musikal Laskar Pelangi. “Balik modalnya masih lama, bisa satu tahun hingga satu setengah tahun lagi,” katanya.

Sekadar informasi, setelah sukses meraup empat juta penonton, film Laskar Pelangi karya Riri Reza yang diangkat dari novel karya Andre Hirata, mendorong Mira Lesmana meraciknya dalam bentuk drama musikal dua tahun lalu. Semula, ia sempat ragu lantaran butuh biaya yang besar, persiapan panjang, dan masalah teknis panggung yang sulit.

Proses persiapannya memakan waktu selama setahun, termasuk mencari talen pengisi peran, mempersiapkan orkes-tra, penataan panggung, dan pelatihan secara intensif semua tim. Pementasan ini melibatkan 120 pemain, 26 pemain pendukung, dan sekitar 300 kru panggung dan staf pendukung lain. Mira, akhirnya, menampilkan drama musikal itu selama dua kali, masing-masing sekitar 11 kali pertunjukan.

Menurut Mira, menggarap seni pertunjukan seperti opera atau drama musikal sangat berbeda dengan film atau televisi. Pertama, tuntutan casting pemain tidak hanya mahir dalam peran, tapi juga gerak dan seni suara. Kedua, penggarapan setting panggung, lampu dan dinamika tata letak, serta efek saat pertunjukan berlangsung jauh lebih kompleks.

Ketiga, jumlah penonton yang dihimpun tentu tidak bisa semassal pertunjukan film atau program televisi yang sekali tayang bisa meraup jutaan mata dan bisa berbulan-bulan ditayangkan. Maklum, gedung pertunjukan memiliki kapasitas dan waktu tampil terbatas. Karena itu, “Hitungan bisnisnya juga berbeda meski nilai investasi yang dibayarkan sama,” ungkap Mira.

Mira hanyalah salah satu pemain di bisnis pertunjukan ini. Ada ratusan pemain lain yang masing-masing memiliki segmen pasar sendiri. Abduh Aziz, Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), menilai, bisnis seni pertunjukan tetap bertahan lantaran masyarakat merindukan variasi hiburan. “Produser yang terjun ke bisnis pertunjukan, biasanya, mengarah ke bisnis jangka panjang,” katanya.

Abduh mengacu pengalaman pertunjukan di luar negeri. Di sana, industri seni pertunjukan berkembang pesat. Sebuah pertunjukan yang sukses bisa ditampilkan berulang kali oleh kelompok berbeda. Hebatnya, penulis naskahnya bisa terus mendapatkan royalti.

Di Indonesia, menurut Abduh, perkembangan industri seni pertunjukan tidak lepas dari sebuah sanggar seni yang rajin melahirkan karya seni. Teater Koma adalah salah satu rumah produksi sekaligus sanggar seni yang produktif dalam berkarya dan eksis lebih dari 30 tahun. Ada juga Teater Salihara dan Teater Garasi.

Dalam perkembangannya, menurut Abduh, bisnis pertunjukan ini juga mulai digeluti oleh perusahaan swasta murni yang tidak memiliki sanggar atau artis sendiri. “Mereka datang dengan manajemen, pemasaran, serta konsep yang lebih matang dan disiplin,” katanya.

Beberapa perusahaan yang bergelut di bisnis ini antara lain PT Gelar Nusantara sejak tahun 1998, d’Artbeat sejak tahun 2003, dan belakangan Artswara milik Maera S. Panigoro, serta 6Stories Production yang membuat Onrop, atau pun PT Global 3L Production yang meramu Matah Ati.
Berbeda dari sanggar seni yang menguasai materi pertunjukan, para pengelola bisnis pertunjukan punya cara kerja berbeda. “Kami menggagas acara bukan karena permintaan klien,” kata Bram Kushardjanto, Chairman PT Gelar Nusantara.

Dalam proses produksi, Bram melibatkan kurator yang biasanya mencari ketua tim kreatif untuk menggarap sebuah pertunjukan. Jauh-jauh hari, ia juga membuat riset tentang selera penonton, pilihan tema, hingga siapa artis atau pekerja seni yang layak dilibatkan.

Bram mengklaim, rumah produksi Gelar Nusantara menjunjung tinggi orisinalitas sebuah pertunjukan. Ia berusaha membuat pertunjukan semirip mungkin dengan tradisi yang diwariskan leluhur. Segmen pasar yang dibidik termasuk yang khusus (niche). “Keaslian adalah nilai lebih pertunjukan yang berakar dari tradisi,” ujarnya.

Sementara Miles dan d’Artbeat memperluas pasarnya dengan memberi sentuhan pop yang lebih mudah diserap pasar. Sebab, “Tren menonton pertunjukan seni telah jadi life style bagi kalangan masyarakat tertentu di Jakarta,” kata Grace Kusno, Executive Director d’Artbeat.
Peran sponsor krusial

Dari sisi biaya, menonton film di bioskop pasti jauh lebih murah ketimbang menonton seni pertunjukan. Meski begitu, harga tiket seni pertunjukan di Indonesia masih jauh lebih murah ketimbang pentas serupa di luar negeri. Di Indonesia, tiket ini paling mahal sekitar Rp 1 juta.

Komponen penentu harga tiket, biasanya, adalah biaya produksi dibagi dengan jumlah kursi. Nah, jika tiket ludes, produser baru mencatat break even point, tanpa bantuan sponsor. “Margin laba bisa diperoleh jika ada tambahan sponsor, donatur atau tiket kami jual lebih mahal,” kata Bram. Agar terus produktif dan tak merugi, penyelenggara pertunjukan harus cermat mengatur cash flow.

Grace mengaku, peran sponsor sangat krusial. Sebab, penjualan tiket bisa hanya menutup sekitar 35%–50% dari biaya produksi. Untuk menambah margin untung, biasanya, penyelenggara memperpanjang jangka waktu pementasan. Misalnya, 10 kali pertunjukan di Eropa, Amerika Serikat, bahkan di Singapura. Meski begitu, ”Untuk mengumpulkan penonton yang memenuhi 10 kali pertunjukan atau lebih bukanlah hal mudah,” ungkap Grace.

Mira yang telah menghabiskan dana sekitar Rp 12 miliar untuk pentas Laskar Pelangi mengaku agak sulit mencari sponsor yang mau memberikan dana tunai. Soalnya, rata-rata calon sponsor belum memahami seperti apa seni pertunjukan dan apa yang membuatnya sedemikian mahal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×