Reporter: Mona Tobing | Editor: Tri Adi
Sentra penjualan kerajinan yang satu kompleks dengan Pasar Badung ini pernah menjadi tujuan utama wisatawan lokal dan asing yang hendak berbelanja. Namun, kini pamor Pasar Kumbasari yang berdiri sejak 1977 kian surut. Bom, kebakaran, dan persaingan dengan sentra-sentra lain membuatnya sepi pengunjung.
Tidak banyak wisatawan yang tahu sejarah Pasar Kumbasari. Sentra penjualan kerajinan ini dulu bernama Peken Payuk alias Pasar Periuk. Julukan ini muncul lantaran para pedagang di tempat jual beli itu banyak yang menjual gerabah dan periuk.
Alit, penjual kerajinan patung budha dan barang etnik, seperti topeng, pajangan rumah, hingga guci dengan ukiran khas Bali, mengatakan, nama sentra ini berubah menjadi Pasar Kumbasari karena jumlah pedagang yang menjual barang kerajinan di luar gerabah dan periuk semakin banyak.
Maklum, letak Pasar Kumbasari yang berada di Jalan Sulawesi, antara Kuta dan Denpasar, sangat strategis. Apalagi, "Banyak wisatawan asing yang menginap di Kuta dan Denpasar, sebagian pedagang menjajakan barang dagangannya di sini," tutur Alit, pemilik Alit Shop.
Pergantian nama Peken Payuk menjadi Pasar Kumbasari juga atas dorongan pemerintah daerah (pemda) setempat. Pemda berniat menampung pedagang yang menggelar lapak barang dagangan di pinggir Jalan Sulawesi dengan mendirikan bangunan megah empat lantai.
Menurut Alit, saat itu, Pasar Kumbasari merupakan pasar termegah, lantaran menjadi pasar tradisional bertingkat pertama di Pulau Dewata tersebut
Sebelum bom laknat teroris meledak pada 2002 lalu yang membunuh lebih dari 200 orang, Pasar Kumbasari selalu ramai disambangi turis lokal dan asing. Mereka selalu membeli barang kerajinan khas Bali langsung ke sini.
Selain tempatnya yang strategis serta jenis produk yang lengkap dan harganya relatif murah, para pedagang Kumbasari terkenal santun dan bersahabat. "Tidak sedikit pedagang dan perajin di Pasar Kumbasari yang lantas bersahabat dengan turis asing, bahkan menjadi mitra bisnis di negara asal mereka," ungkap I Nyoman Gede, seniman lukis yang membuka galeri di lantai tiga sentra ini.
Tapi sungguh malang, setelah bom meluluh-lantakkan Sari Club dan Paddy's Pub di kawasan Legian, pembeli kerajinan etnik di Pasar Kumbasari, terutama turis asing merosot tajam. Sebab, mereka takut luar biasa berlibur di Bali.
Kondisi ini diperparah kehadiran gerai-gerai dan tempat berbelanja kerajinan etnik dengan konsep modern bernuansa Bali.
Ditambah, si jago merah yang mengamuk di Pasar Kumbasari pada 2007 ketika para pedagang tengah memulai aktivitas membuka toko-toko mereka. Api yang membesar dengan cepat melahap lantai tiga dan empat Pasar kumbasari.
Untung saja, kebakaran tak menghanguskan lantai satu dan dua, sehingga tidak semua pedagang di sentra ini harus merugi. Toh, dampak kebakaran tersebut berat. Perekonomian di Pasar Kumbasari sempat lumpuh karena sebagian pedagang menutup toko mereka.
Meski ada beberapa toko yang selamat dan masih menjajakan barang dagangannya, para wisatawan tak lagi memilih Pasar Kumbasari untuk berburu kerajinan khas Bali.
Pasar Kumbasari kembali menggeliat seiring dengan selesainya perbaikan gedung, khususnya di lantai tiga dan empat. Tapi, hingga kini9 pengunjungnya tidak seramai sebelum kebakaran dan kejadian Bom Bali 1.
Alit yang tokonya tiga tahun lalu ikut hangus dilalap api mengaku, penjualannya pascakebakaran tak sebesar dulu. Sebelumnya, omzetnya Rp 300 juta-Rp 500 juta per bulan. Sekarang, Alit paling banter hanya mengantongi sekitar Rp 150 juta.
Meski penghasilannya anjlok drastis akibat sepi pembeli, Alit tidak berniat hengkang dari Pasar Kumbasari, mengikuti jejak sejumlah teman-temannya yang telah menutup kiosnya di sentra ini. "Biar sepi tak apalah, toh masih banyak yang terjual pula," tutur perempuan 40 tahun yang sekarang fokus mengekspor hasil kerajinannya ke Thailand, Vietnam, Australia, hingga Eropa.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News