Reporter: Handoyo, Gloria Natalia | Editor: Tri Adi
Tak lama lagi, tahun pelajaran baru bagi anak-anak sekolah akan tiba. Menjelang saat tersebut, para produsen seragam sekolah menuai banyak order. Seperti siklus tahunan, jelang tahun baru seperti sekarang, permintaan seragam sekolah melesat.
Tisna Wiles, pengusaha konveksi seragam sekolah dengan merek Purnama Green Label, mengatakan, permintaan seragam sekolah umumnya mulai banyak datang pada awal bulan April.
Seperti yang terjadi tahun sebelumnya, Tisna sudah berani memperkirakan kalau permintaan seragam yang ia bikin dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) akan naik sampai 600% dari hari biasa. "Permintaan terbanyak untuk SD yakni mencapai 60%," ujar lelaki berusia 32 tahun ini. Sisanya adalah permintaan seragam SMP dan SMA yang masing-masing 20%. Berdiri sejak 35 tahun yang lalu, Purnama Green Label kini mempekerjakan sekitar 50 pegawai di pabriknya yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur.
Dari pabrik inilah, Tisna memasok ke empat toko Purnama, antara lain di Pusat Grosir Surabaya dan Jembatan Merah Plaza. Ia juga mengirim seragam ke Bali, Kalimantan, Kupang, Antabua serta Depok. Tahun ini, "Kami juga berencana membuka toko di Mangga Dua, Jakarta," ujarnya.
Hingga kini, toko Purnama di Pusat Grosir Surabaya menjadi ujung tombak pemasaran seragam Purnama. "Konsumen baru kami dapatkan dari sana," ujarnya. Saban tahun, permintaan seragam juga terus bertambah.
Pengusaha seragam sekolah yang juga kebanjiran order saat tahun pelajaran baru adalah Syamsuddin Wiyaka. Pemilik Resoota Fabrique di Jakarta ini selalu kebanjiran order mulai bulan Juni hingga akhir Juli. Kenaikan permintaan biasanya 25 kali lebih besar daripada hari biasa.
Bila pada hari biasa Syamsuddin hanya melayani permintaan 200 hingga 300 pasang seragam, menjelang tahun ajaran baru permintaan sampai 5.000 pasang. Ketatnya persaingan membuat permintaan yang masuk ke perusahaannya hanya tumbuh 8% hingga 10% per tahun.
Menjual sepasang seragam SD dengan harga Rp 40.000, dan seragam SMP dan SMA Rp 50.000 dan Rp 55.000, Syamsuddin mampu menjahit meraup Rp 12 juta saban bulan. Menjelang tahun baru yakni Juni ke Juli, omzetnya berlipat ganda hingga mencapai Rp 200 juta.
Harga kain naik
Tak hanya melayani permintaan seragam sekolah untuk wilayah Jakarta, Syamsuddin juga mengirim pasokan seragam sekolah ke distributornya di Medan, Samarinda, hingga Papua.
Sayangnya, di tengah panen raya ini order baju seragam ini, ada yang mengganjal. Para pengusaha seragam sekolah ini menghadapi kenaikan harga kain yang sudah terjadi sejak awal tahun 2011. "Ini yang menyebabkan bisnis saya hancur," ujar Tisna yang kesulitan menentukan harga jual seragamnya lantaran harga kain naik terus.
Melalui Purnama Green Label, Tisna mendapatkan pasokan kain untuk baju atasan dari sebuah pabrik dengan sistem kontrak. Skema ini memang menguntungkan Tisna lantaran harga sudah disepakati sejak awal. Yang membuatnya berat adalah harga kain untuk bawahan yangd ia pasok dari distributor di Surabaya. "Harga dari distributor ini yang naik terus," ujarnya.
Agar tak tekor, Tisna ikut menaikan harga jual. Saat ini, dia menjual sehelai kemeja seragam untuk pelajar SD dengan harga Rp 40.000 dan bawahan Rp 50.000-Rp 60.000, tergantung ukuran.
Kenaikan harga kain juga dirasakan Muhammad Ali, produsen seragam sekolah di Klaten, Jawa Tengah. "Kenaikan harga kain sampai 40% sejak tiga bulan lalu," ujar lelaki berusia 33 tahun ini.
Ia mencontohkan, harga katun combat saat ini mencapai Rp 100.000 per kg. Padahal tahun lalu, hanya Rp 60.000 hingga Rp 70.000 per kg. Karena harga kain menjulang, Ali juga mendongkrak harga jual seragam sekolah buatannya.Ia menjual seragam olahraga berbahan PE dengan harga
Rp 40.000, harga satu stel seragam olahraga berbahan katun Rp 75.000. “Harga Rp 75.000 buat guru, kaos lengan panjang dan celana panjang. Kalau kaos Rp 40.000 buat murid,” tutur Ali. Adapun, seragam batik cap untuk pelajar SMA, ia jual Rp 30.000.
Selain dijual di Pulau Jawa, seragam olahraga dan seragam batik keluaran Hikaru saat ini juga sudah sampai ke Kalimantan, Tapanuli di Sumatera Utara, dan Enrekang di Sulawesi Selatan.
Seorang pembeli bisa memesan minimal 1.000 seragam. Ada pula pembeli yang memesan seragam hanya 40 hingga 50 seragam, tapi terus menerus. "Sejak akhir April, sudah ada kenaikan permintaan," ujar Ali yang berharap omzetnya naik dari tahun lalu yang berkisar Rp 50 juta per bulan.
Para produsen seragam ini yakin bisnis mereka akan tetap berjalan mulus. Seperti makanan pokok, "Baju seragam sekolah adalah kebutuhan pokok bagi anak-anak sekolah," ujar Tisna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News