Reporter: Dian Pitaloka Saraswati | Editor: Tri Adi
Putus asa, sepertinya, tidak pernah ada dalam kamus hidup Sarwo Wiguno Wargono. Ia selalu berusaha mencari peluang bisnis baru meski menemui banyak kendala. Kuncinya, ia selalu berusaha bangkit dari kegagalan untuk meraih keberhasilan.
Sukses akan datang jika kita cermat memanfaatkan peluang. Begitulah prinsip Sarwo Wiguno Wargono dalam berbisnis. Meski selalu menghadapi kendala dalam bisnis, ia tetap berusaha mencari celah dan peluang bisnis baru yang menjanjikan.
Sarwo adalah pemilik dan Presiden Direktur PT Konten Indomedia Pratama, pemilik ponsel merek lokal IMO. Tadinya, sebagian besar ponsel itu memang didatangkan dari China. Meski begitu, mulai Juni ini, IMO bakal merakit sebagian ponsel di Indonesia dengan menggandeng PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti). “Target saya, kami bisa memproduksi 500.000 ponsel di Inti setiap tahun,” ujarnya.
Lahir dari keluarga keturunan Tionghoa yang cukup berada, menjadi pengusaha sebenarnya bukan impian Sarwo kecil. Karena lingkungan mendukung, pria kelahiran Pekalongan 36 tahun silam ini justru bercita-cita menjadi bintang bulu tangkis. “Saya hampir masuk Djarum setelah lulus sekolah dasar,” katanya mengenang. Saat itu, hampir semua atlet bulu tangkis dari Jawa Tengah berlatih di pusat pelatihan milik Djarum, produsen rokok yang bermarkas di Kudus.
Sayang, sang ibu menghendaki anak kedua dari tiga bersaudara itu menuntut ilmu setinggi mungkin. Sang Ibu juga mendorongnya untuk bersekolah di luar negeri. Alhasil, selulus SMA, Sarwo masuk Curtin University, di Perth, Australia. Di sana, ia mendalami bidang keuangan dan pemasaran.
Setelah lulus kuliah, di tahun 1997, Sarwo bekerja sebagai analis di Panin Sekuritas. Tapi, ia hanya bertahan setahun menjadi analis. Ia merasa tidak cocok dengan pekerjaannya. “Saat itu, saya membuat analisis tentang ekonomi makro yang murni, sementara yang sedang tren kala itu adalah analisis politik ekonomi. Padahal, saya tidak suka politik,” katanya.
Beberapa teman di Singapura yang kebetulan juga alumni Curtin University mengajaknya berbisnis di bidang teknologi informasi. Sarwo menyanggupi meski sebenarnya tidak tahu-menahu soal bidang ini. Meski begitu, “Saya melihat kebutuhan telekomunikasi di Indonesia masih sangat besar dan kala itu masih sangat mahal,” katanya.
Pada awal tahun 2000, bersama dengan empat rekannya, Sarwo mendirikan PT Nebula Unggul Nusantara, sebuah perusahaan yang bergerak di bisnis VoIP Global Clearing House. Salah satu produknya adalah kartu telpon prabayar Komnet yang menyediakan layanan telekomunikasi lewat internet, atau lazim disebut voice over internet protocol (VoIP).
Agar ceruk bisnisnya makin luas, Sarwo membuka point of presence (POP) jaringan internet ke beberapa kota di Indonesia dan luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. “Ibu saya senang, karena bisa menelepon kakak di Jerman dengan murah,” katanya.
Sayang, bisnis ini tak bertahan lama lantaran pemerintah menyatakan layanan VoIP Komnet ilegal lantaran ia tidak memegang lisensi seperti yang dimiliki operator telekomunikasi. “Saya terpukul. Sebab, sebelumnya saya sudah meminta izin tapi tidak diberi,” katanya. Tahun 2001, Sarwo menjual Komnet ke salah satu operator telekomunikasi besar.
Waktu yang tepat
Sarwo tidak patah arang. Masih bersama teman-temannya, ia banting setir menjadi penjual kamera close circuit television atau CCTV. Ia melihat peluang, sejak marak kerusuhan, banyak orang membutuhkan pengawasan ekstra. Dengan begitu, permintaan kamera CCTV ikut melonjak. Sarwo juga sering ikut tender pengadaan CCTV di beberapa perusahaan.
Sembari berbisnis CCTV, Sarwo melirik kembali bisnis informasi teknologi. “Di Singapura saat itu sedang asyik bisnis SMS dan mobile content,” katanya. Melihat tren yang sama bakal terjadi di Indonesia, ia mendirikan bisnis mobile content. Produknya antara lain SMS berhadiah, ring back tone, game, wallpaper, dan lainnya. “Saya percaya, bisnis ini masih bertahan, meski bentuk konten terus berubah,” katanya.
Sukses di bisnis konten ponsel, pada tahun 2007, lewat PT Konten Indomedia Pratama, Sarwo menjadi agen tunggal penjualan ponsel bermerek Philips. Sayang, ia gagal mendongkrak penjualan ponsel Philips lantaran kalah dengan ponsel yang lebih mengedepankan style dan gengsi.
Meski begitu, melihat pasar ponsel kian booming seiring dengan perang tarif para operator telekomunikasi, Sarwo melihat peluang menggarap ponsel murah. “Ceruk pasar ponsel untuk kalangan menengah ke bawah masih lebar dan belum terlayani ponsel merek-merek terkenal. Ponsel China bisa menjadi pilihan,” ujarnya.
Dengan menggunakan merek IMO, Sarwo menggandeng semua operator untuk memasarkan ponsel lewat bundling. Tapi, ia ingin Indonesia tak cuma jadi pasar. “Saya ingin kita menjadi negara produsen,” katanya. Makanya, ia memproduksi ponsel IMO di sini. Saat ini, penjualan IMO terus naik sekitar 25%–30% per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News