Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi
Walau memiliki omzet besar mencapai ratusan juta per bulan, para pedagang di sentra alat kesehatan Glodok hanya menikmati margin sebesar 5%. Persaingan yang ketat antarpedagang di tempat ini membuat mereka tidak bisa meraup keuntungan yang besar. Promosi yang minim juga menjadi masalah bagi mereka.
Glodok City, Jakarta Barat merupakan satu dari dua pusat penjualan alat-alat kesehatan di Indonesia. Selain Glodok, ada satu lagi sentra yang menjual barang yang sama, Pasar Pramuka, Jakarta Timur. "Di tempat lain, mana ada pedagang alat kesehatan yang berkumpul," kata Tomy Wijaya, pemilik Intra Medika di sentra alat kesehatan Glodok.
Karena hanya ada dua sentra di negeri ini, tak heran banyak pembeli yang datak ke Glodok. Buntutnya, omzet para pedagang mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
"Penjualan memang besar tapi marginnya cukup kecil, sekitar 5%," ungkap Darwin, pemilik Sinar Medika. Dengan penghasilan sebulan mencapai Rp 500 juta, ia mampu mengantongi laba sekitar Rp 25 juta.
Johan Wijaya, pemilik Sahabat Medical, yang mendulang pendapatan sekitar Rp 30 juta sampai Rp 40 juta per bulan, hanya mendapatkan laba bersih tak lebih dari Rp 4 juta. Kadang, keuntungannnya malah cuma Rp 1,5 juta per bulan.
Menurut Darwin, pedagang terpaksa mengambil margin yang tipis lantaran persaingan di sentra ini sangat ketat. "Jika terlalu tinggi, pembeli segera beralih ke toko sebelah," ujar Darwin.
Untuk menyiasatinya, sebagain pedagang seperti Tommy, pemilik Mitra Lab, melengkapi produk jualannya sehingga sedikit berbeda dengan pesaingnya. Dengan menjual pelbagai produk, mulai dari alat-alat kimia sederhana sampai alat kesehatan yang kompleks, dia tidak perlu terlalu menggencet margin.
Tommy mengungkapkan, alat-alat kesehatan yang dijual pedagang di sentra ini hampir semua barang impor dari China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. "Ada juga buatan dalam negeri tapi sangat sedikit," ungkapnya. Beberapa produk made in Indonesia, antara lain baki atau nampan makan dari logam dan ranjang pasien.
Pedagang di sentra alat kesehatan Glodok mengaku enggan menyediakan produk buatan dalam negeri karena harganya lebih mahal. "Saya juga tak tahu kenapa begitu” tutur Tomy Wijaya. Oleh karena itu, ia menyarankan, sangat penting bagi Pemerintah Indonesia melahirkan sistem agar harga alat kesehatan buatan lokal bisa lebih murah.
Dengan harga yang lebih murah, tentu saja barang impor lebih banyak peminatnya. Dan, pedagang pun sangat bergantung pada produk luar negeri. Padahal, barang impor paling cepat baru sampai dua minggu setelah pemesan. "Semua tergantung jenis, jumlah, dan ketersedian barang," ujar Tommy. Untuk produk berupa mesin besar dan pengiriman melalui jalur laut, barang baru diterima sampai satu bulan.
Masalah lain yang menghadang pedagang adalah kurang aktifnya PD Pasar Jaya sebagai pengelola Glodok City berpromosi dan menarik pengunjung. "Di sini kiosnya memakai sistem beli, jadi pengelola tak mau repot berpromosi," ucap Darwin.
Sementara pedagang juga enggan melakukan promosi lantaran merasa laba yang mereka dapat sangat tipis. Sehingga, keuntungan bisa makin mengecil kalau mereka harus berpromosi.
Itu sebabnya, para pedagang berharap pemerintah daerah turun tangan membantu promosi dan mengurai kemacetan yang terjadi di depan Glodok City. Soalnya, "Kami jadi kalah dengan Pasar Pramuka karena masalah itu," tegas Johan.
Untungnya, Tomy Wijaya bilang, para pedagang di sentra Glodok tidak saling menjatuhkan dan memiliki hubungannya baik, walau tetap bersaing. "Memang ada yang jual rugi, namun itu dilakukan daripada barang kadaluwarsa," tuturnya. Sebab, menjual barang yang sudah kadaluarsa sangat ditabukan oleh pedagang karena akan mengurangi loyalitas pembeli.
Selain harga murah dan kualitas terjamin, kelengkapan barang juga menjadi salah satu faktor untuk menjaga loyalitas pelanggan. Sebagai bentuk pelayanan tambahan, pembelian jumlah tertentu, barang bisa diantar gratis.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News