Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Tri Adi
Cuaca bersahabat ketika KONTAN menjejakkan kaki di Pasar Windujenar, Rabu pekan lalu. Pasar yang terletak di Jalan Diponegoro, Solo, Jawa Tengah ini merupakan sentra penjualan barang-barang antik. Di masa lalu, area pasar ini difungsikan sebagai kandang kuda Kraton Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Pasar Windujenar adalah salah satu situs wisata yang dimiliki Kota Solo, Jawa Tengah. Pasar ini dikenal sebagai pusat penjualan barang-barang antik. Secara geografis, pasar ini terletak di Jalan Diponegoro, Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Solo. Pasar ini berada tepat di depan Pura Mangkunegaran yang semula berfungsi sebagai alun-alun.
Awalnya, Pasar Windujenar lebih kesohor dengan sebutan Pasar Triwindu. Nama Triwindu berasal dari kata 'tri', yang dalam bahasa Jawa berarti tiga. Sedangkan 'windu' memiliki arti delapan. Kedua nama itu lalu diterjemahkan dalam bilangan 24, yang merupakan hasil penjumlahan dari 3 x 8.
Menurut sejarahnya, bilangan ini digunakan sebagai simbol ulang tahun ke-24 Gusti Putri Mangkunegara VII yang bernama Nurul Khamaril. Selanjutnya, guna memperingati tahun ke-24 atau tiga windu Mangkunegara VII bertahta, pada tahun 1939 dibangunlah Pasar Windujenar. Ada yang memperkirakan, pada mulanya lokasi Pasar Windujenar adalah kandang kuda Kraton Mangkunegara.
Di masa awal perkembangannya, para pedagang di pasar ini hanya menggelar lapak di pinggir jalan dan melakukan barter barang-barang antik. Namun, akibat kesulitan ekonomi, banyak para abdi dalem Pura yang ikut memperdagangkan barang-barang antik hadiah dari pihak kraton.
Seiring menjamurnya pedagang di kawasan itu, pada tahun 1960, Pemerintah Kota Solo merenovasi area pasar. Aktivitas pedagang direlokasi secara terpadu di kios-kios yang menyerupai rumah petakan. Hanya tersisa sedikit pedagang yang tetap bertahan menjual dagangannya di pinggir jalan.
Menurut Maria Imakulata Sarmi, salah satu pedagang di Pasar Windujenar, dahulu jumlah pedagang barang antik di pasar ini masih bisa dihitung dengan jari. “Paling hanya puluhan. Tapi, sekarang jumlahnya sudah ratusan,” kata ibu yang telah berdagang barang antik di Pasar Windujenar sejak tahun 1972 itu.
Maria berkisah, lonjakan jumlah pedagang barang antik di Pasar Windujenar mulai terasa di pengujung tahun 1968. Ketika itu, banyak masyarakat di sekitar pasar yang terjun berdagang barang antik. “Bisnis barang antik itu musiman. Jadi, ketika penjualan sedang ramai, bisnis ini terlihat menarik,” imbuh dia.
Fini, kolega Maria di Pasar Windujenar, menimpali, maraknya penjual barang antik juga lantaran usaha ini dilakukan secara turun temurun. Jadi, dalam satu keluarga ada satu hingga dua orang anak yang berprofesi sebagai pedagang barang antik. “Banyak pedagang yang mengikuti jejak orang tuanya berjualan barang antik,” kata perempuan yang menekuni usaha ini sejak tahun 1964 itu.
Salah satu pedagang yang mewarisi usaha orang tuanya adalah Heru Santoso, pemilik kios Three Antique. Lelaki kelahiran tahun 1965 ini telah merintis usaha barang antik sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. “Saat itu saya masih bantu-bantu usaha orangtua,” kata Heru.
Langkah Heru mengekor bisnis sang ayah tidak sia-sia. Pada tahun 1990, bapak dua anak ini sudah bisa memiliki kios sendiri. “Waktu itu kios saya bentuknya seperti rumah. Luasnya 30 meter persegi,” katanya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News