Reporter: Adi Wikanto | Editor: Tri Adi
Pagi menjelang siang, sekitar pukul 9.30 WIB, sang surya belum menunjukkan keperkasaannya di wilayah Medan, Sabtu (19/3) kemarin. Udara terasa sejuk, karena awan sedang menjatuhkan air untuk membasahi Tanah Deli, sebutan kota Medan. Namun, kondisi yang lebih enak buat bermalas-masalan itu, tak menyurutkan pengusaha bika ambon di Jalan Mojopahit membuka tokonya.
Satu demi satu, karyawan dan pemilik toko menata meja dan etalase. Selanjutnya, bika ambon yang sudah terbungkus kardus ditata di meja dan etalase itu. Ada yang hanya ditumpuk memenuhi etalase, ada pula yang menatanya membentuk seperti piramida.
Linda Zaenuddin, pemilik toko bika ambon Zaenuddin, sudah menjalankan rutinitas itu sejak enam tahun yang lalu. Toko ini berdiri berbarengan dengan pengusaha warga lokal yang menganut prinsip syariah, yakni memakai label halal.
Tentu saja, label itu bukan sekadar tempel saja, tapi sudah ada pengesahan Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Untuk dapat label halal, prosesnya bisa sampai enam bulan,” ucap Boy Azhari, pemilik bika ambon Fatimah, yang satu tahun lebih tua dari bika ambon Zaenuddin.
Prinsip syariah memang baru berkembang pada tahun 2000. Pertama kali, dimulai oleh Mariani, mantan apoteker yang mendirikan bika ambon Zulaikha. Penyebabnya, kebanyakan pembeli bika ambon adalah kaum muslim. Padahal, sebelum tahun 2000, pembuatan bika ambon menggunakan bahan baku yang dilarang dalam ajaran Islam, yakni tuak, sejenis minuman beralkohol khas Sumatra Utara untuk proses fermentasi. Gantinya, pengusaha muslim menggunakan nira, meskipun fermentasi harus lebih lama, sekitar enam jam.
Rupanya, strategi itu cukup jitu. Pelanggan mulai beralih ke bika ambon Zulaikha. Warga lokal yang beragama Islam pun meniru kesuksesan itu. Lihat saja, di sekitar bika ambon Zulaikha, berdiri bika ambon dengan label kaum muslim, seperti Hajjah Lia, Fatimah, Zaenuddin, dan Hajjah Nimar. Bahkan, Mariani juga menambah satu cabang lagi.
Tentu saja, ini berimbas langsung ke bisnis sejenis milik warga keturunan China. Banyak pengusaha yang harus gulung tikar. Jejak-jejaknya pun masih terlihat .Beberapa rumah masih memajang papan nama bika ambon meskipun sudah tidak menjual lagi, seperti Mahkota, Gajah Mada, Cita Rasa, dan Marjani. “15 toko milik warga keturunan China sudah tutup,” kata Linda.
Namun, beberapa pengusaha keturunan China berhasil mempertahankan bisnisnya. Seperti bika ambon Acai, kini sudah memiliki tiga cabang di kawasan itu. Begitu pula bika ambon Erna yang kini punya satu cabang di tempat itu. “Sekarang, kami juga mengikuti pengusaha muslim dengan menerapkan label halal,” kata Rudi, pemilik bika ambon Erna.
Strategi lainnya, ada juga yang harus banting harga, seperti bika ambon Etty yang harganya Rp 26.000 per bungkus. Padahal, harga rata-rata bika ambon Rp 36.000-Rp 50.000 per bungkus. “Beberapa pengusaha keturunan China juga banyak yang kerja sama dengan penjual oleh-oleh di terminal, stasiun, dan bandara agar tetap eksis,” kata Boy.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News