Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Tri Adi
Krisis ekonomi 1998 memang susah untuk dilupakan. Maklum, ketika itu, begitu banyak buruh pabrik kehilangan pekerjaan lantaran pabrik tutup akibat krisis. Namun, saat itu pula adalah tonggak baru bagi para mantan buruh itu untuk memulai hidup baru sebagai pengusaha.
Tak percaya? Datanglah ke sentra pembuatan boneka di Desa Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa Barat. Di desa itu setidaknya ada 25 industri boneka kelas rumahan yang dikelola oleh para bekas buruh korban resesi ekonomi 14 tahun silam.
Salah satu bekas buruh yang mencetak sukses sebagai pengusaha boneka itu adalah Nana Anang Sujana.
Sepertinya sudah menjadi suratan takdir, setelah lima tahun bekerja, Nana menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Tapi, nasib buruk inilah yang justru menjadi momentum bagi Nana untuk memulai hidup baru sebagai pebisnis. Setelah kehilangan pekerjaan, Sujana mulai berjualan bahan baku boneka dan juga limbah sisa pembuatan boneka.
Dagang kecil itu berbuah besar. Dari hasil dagang limbah, Nana berhasil mengumpulkan uang Rp 500.000. Uang inilah yang dia jadikan modal untuk membangun usaha pembuatan boneka sendiri dengan merek Hayashi Toys.
Berbagai bentuk boneka lahir dari kreasi dan imajinasi bapak lima anak ini. Kini berbagai macam produk boneka Hayashi telah dipasarkan ke berbagai kota seperti Semarang, Bandung, Surabaya, dan kota- kota besar lainnya.
Bahkan, usaha Nana berbiak lumayan cepat. Dalam jangka waktu 14 tahun, usaha ini telah mampu mempekerjakan 108 pekerja. Bahkan, kini Nana sudah berhasil meraup omzet hingga Rp 1,2 miliar per bulan. "Peminat boneka datang dari seluruh daerah di Indonesia," kata Nana.
Selain Nana, mantan buruh yang juga sukses sebagai pengusaha boneka adalah Saipunawas Raepani. Ia memulai bisnis pembuatan boneka ini sejak tahun 2000. Dengan modal lima mesin jahit dan uang pinjaman sebesar Rp 12 juta, Saipunawas membesarkan usahanya yang bernama PD Dwi Putra Mandiri Toys.
Saat memulai produksi, Saipunawas bercerita, produksinya masih sekitar 100 boneka per hari atau sekitar 3.000 boneka per bulan. Beruntung, dari hari ke hari, permintaan boneka kian deras mengalir. Mau tidak mau, ia harus menambah kapasitas produksi.
Saipunawas pun merasa perlu menambah mesin jahit bekas pabrik. Selain itu juga, ia juga menggandeng penduduk di sekitar rumahnya untuk menjadi mitra. "Mesin jahit itu saya serahkan kepada warga yang bersedia untuk menjadi mitra," kata Saipunawas.
Satu mitra mendapatkan lima mesin jahit. Alhasil pada 2004, produksi boneka Saipunawas bisa melonjak hingga 8.000 boneka per bulan. "Usaha ini terus berkembang," ujarnya, senang.
Sekarang, Saipunawas sudah mampu memproduksi sebanyak 15.000 boneka per bulan. Memanfaatkan jejaring yang telah lama dibinanya, Saipunawas berhasil memasarkan boneka di Jakarta, Surabaya hingga Samarinda. Dengan harga jual boneka antara Rp 7.000 hingga Rp 125.000, ia meraih omzet Rp 600 juta per bulan.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News