Reporter: Hafid Fuad | Editor: Tri Adi
Kecap Majalengka pernah menjadi tuan rumah di daerah sendiri pada 1970 hingga 1980-an. Tapi kini kecap Majalengka kalah bersaing dengan produsen kecap raksasa. Beruntung, belakangan ini, industri kecap Majalengka jadi salah satu daerah kunjungan wisata.
Pembuat kecap di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, mayoritas adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Kapasitas produksi mereka terbatas untuk pasar kecap di Majalengka, pemasaran paling jauh di kabupaten tetangga.
Sementara untuk pasar kota besar seperti: Jakarta, Semarang dan Surabaya, produsen kecap dari Majalengka tak bisa menyentuhnya. Maklum, pasar kecap di kota besar itu diambil oleh produsen kecap raksasa.
Keinginan produsen kecap Majalengka menjual kecap ke kota besar sebenarnya ada, tapi kapasitas produksi mereka tidak mencukupi. Apalagi mereka juga tidak memiliki jalur distribusi yang berjangkauan luas. "Kami bisa produksi jika stok yang ada sudah terjual dulu," kata Muhammad Kardi, pemilik kecap Ayam Panggang.
Karena tidak bisa bersaing di daerah lain, puluhan industri kecap di Majalengka terpaksa bersaing memperebutkan pasar di daerah sendiri. Padahal pasar itu kian mengecil, sebab kecap bermerek juga sudah merangsek hingga ke kampung-kampung. "Kami kalah bersaing dengan kecap bermerek itu," keluh Kardi.
Kondisi pasar kecap di Majalengka itu sangat berbeda dengan kondisi pasar pada 1970 sampai 1980-an lalu. Kala itu, kecap Majalengka menjadi tuan rumah di daerah sendiri. .
Oman, pegawai bagian produksi kecap Maja Menjangan bilang, pernah kewalahan melayani pesanan walaupun sudah mempekerjakan 50 karyawan. Tapi kini karyawan perusahaan yang berdiri tahun 1940 itu tinggal 10 orang saja. "Dulu kami harus bekerja dua sift, siang malam," kenang Oman.
Berbagai upaya sudah dilakukan Oman supaya pasar kecapnya kembali jaya. Salah satunya dengan mengurangi harga jual sampai 20%. Tapi upaya itu tak banyak mendatangkan hasil. "Kami sekarang mengandalkan pelanggan setia saja," jelas Oman.
Walaupun kondisi pasar kecap di Majalengka kian mengecil, tapi Oman atau Kardi sama-sama ingin tetap mempertahankan usaha itu. Mereka paham, ada banyak masalah harus selesaikan selain berhadapan dengan produsen kecap raksasa.
Salah satu masalah itu adalah terbatasnya pasokan bahan baku. Khususnya pasokan bahan baku kacang kedelai hitam dan gula aren. Pasokan dari dua bahan baku itu sangat bergantung dengan kondisi cuaca.
Selain itu, harga bahan baku itu terus menanjak naik. Padahal para pengusaha kecap tradisional itu juga tidak mungkin bisa menaikkan harga jual kecap.
Masalah lain yang paling sulit diatasi adalah soal datangnya musim hujan yang tak menentu. Sementara produksi kecap Majalengka bergantung pada sinar matahari untuk mengeringkan kedelai yang akan diolah menjadi kecap. "Jika cuaca buruk seperti mendung saja, produksi kecap kami bisa terganggu," jelas Oman.
Namun begitu Oman atau Kardi belakangan ini agak terhibur. Belakangan ini banyak wisatawan mampir ke tempat pembuatan kecap milik mereka untuk menyaksikan proses pembuatan kecap secara tradisional.
Para wisatawan itu, selain menikmati proses pembuatan kecap, mereka kerap membeli kecap untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. "Pejabat pemerintah juga sering memesan untuk oleh-oleh," tambah Oman.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News