Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi
Selain kendala pakan, peternak kelinci di Desa Sukoloyo, Lembang, sulit memasarkan kelinci. Peternak menggantungkan penjualan dari pengepul yang membeli kelinci peternak dengan harga murah. Agar usaha tetap berjalan, peternak berusaha menjual kotoran kelinci.
Dari kacamata bisnis, budidaya kelinci memiliki peluang yang cukup menggiurkan. Betapa tidak, harga hewan lucu bertelinga panjang itu terbilang tinggi di pasar. Apalagi, ada kelinci jenis tertentu yang bernilai hingga ratusan ribu rupiah per ekor.
Namun, mahalnya harga kelinci itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan pembudidaya kelinci di Desa Sukoloyo, Lembang, Bandung, Jawa Barat. Sebab, harga jual kelinci di tingkat peternak jauh lebih murah ketimbang harga jual kelinci di pasar hewan.
Saat menelusuri lebih lanjut, peternak kelinci mengaku senang menjual kelinci kepada pedagang pengumpul dengan harga lebih murah. Maklum, meski murah, mereka bisa langsung menerima pembayaran tunai.
Padahal, kalau ditelusuri lebih dalam, harga jual peternak ke pengepul hanya seperlima dari harga jual di pasar. Contoh, harga kelinci jenis Dutch umur 45 hari di pasaran mencapai Rp 75.000 per ekor. Sementara kelinci jenis yang sama, dibeli pengepul dari petani hanya Rp 13.000 per ekor.
Begitu juga dengan harga induk kelinci. Bandingkan saja, harga jual indukan itu di peternak yang hanya Rp 125.000 per ekor. Padahal, pengepul bisa melepas kelinci yang sama di pasaran seharga Rp 500.000 per ekor. Sedangkan, "Harga jual kelinci konsumsi cuma Rp 75.000 per ekor," ungkap David Dodi Purnomo, salah satu peternak kelinci di Sukoloyo.
Dengan selisih harga yang demikian tajam antara harga peternak dan pengepul, tentu berat bagi peternak untuk mengembangkan usaha. Menurut David, agar produksi kelinci bertambah, David butuh investasi minimal Rp 1 juta untuk membeli 10 ekor induk kelinci seharga Rp 100.000 per ekor. Ironisnya, indukan itu dibeli peternak dari pengepul kelinci.
Namun, David bilang, peternak mendapat kemudahan pembayaran kalau membeli indukan kepada pengepul. "Kami boleh utang," ujar David.
Tetapi pembayaran utang itu tidak berupa uang kontan senilai utang. "Utang bisa dibayar saat kelinci mulai beranak," tambah David.
Caranya begini, begitu indukan hasil utangan itu beranak maka seluruh anak kelinci itu diberikan kepada pengepul pemberi utang. Namun, satu ekor dari seluruh anak kelinci itu dianggap sebagai cicilan utang.
Tentu keadaan ini tak menyenangkan bagi peternak. Sebagian peternak kelinci Sukoloyo memang menyadari posisi mereka yang terjepit itu. Namun, mereka mengaku sulit mencari jalan keluar untuk melepaskan ketergantungan dari para pengepul itu.
Sebagian peternak kelinci mencoba menjual langsung kelinci mereka dengan membuka tempat penjualan di pinggir jalan, namun usaha mereka itu kandas karena sering dagangan lebih banyak tak laku. Akibatnya, modal mereka lebih banyak terpangkas untuk biaya operasional.
Tri Apriyanto, salah satu peternak yang pernah berjualan kelinci di pinggir jalan mengaku berhenti berjualan karena tidak memperoleh keuntungan yang memadai. "Kalau kami teruskan, berjualan kelinci bisa merugi," kata Tri.
Agar bisa bertahan menjadi peternak, Tri berusaha mencari pemasukan lain dengan cara menjual air kencing dan kotoran kelinci. Sisa pembuangan hewan penggemar wortel itu ternyata dibutuhkan oleh industri pupuk organik.
Satu liter air kencing kelinci dijual Rp 1.500, sedangkan kotoran kelinci dijual Rp Rp 20.000 untuk kemasan 25 kilogram (kg). "Setiap pekan kami menjual kotoran kelinci ini ," kata Tri.
Hasil penjualan kotoran kelinci itu tentu menjadi penghasilan tambahan yang lumayan. Lihat saja, dalam sebulan peternak bisa mendapat penjualan kotoran itu hingga mencapai Rp 400.000. "Penjualannya hampir sama dengan penjualan kelinci," terang Tri.
Para peternak berharap pemerintah membantu usaha peternakan mereka, seperti yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru. "Selain modal, kami juga butuh pemasaran," kata Tri.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News