kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra kerupuk Indramayu: Kenaikan bahan baku bikin produsen pusing (3)


Selasa, 08 Februari 2011 / 10:26 WIB
Sentra kerupuk Indramayu: Kenaikan bahan baku bikin produsen pusing (3)
ILUSTRASI. ilustrasi olahraga


Reporter: Gloria Natalia | Editor: Tri Adi

Para pembuat kerupuk di Indramayu mulai cemas dengan kenaikan harga sejumlah bahan baku, seperti jengkol, tepung tapioka, dan garam. Soalnya, mereka tidak mungkin mengerek harga jual kerupuk. Maklum, baru Desember 2010 lalu produsen di sentra ini menaikkan harga jual kerupuk buatannya.

Ada yang hilang dari sentra industri kerupuk Desa Kenanga, Sindang, Indramayu: kerupuk udang. Sudah lama produsen makanan ringan di sana tidak membuat kerupuk berbahan baku utama udang api-api.

Kalaupun ada yang membuat kerupuk udang, Sidik, pemilik Trisna Jambal, misalnya, bahan bakunya bukan berasal dari udang, melainkan penyedap rasa udang "Harga udang mahal. Sudah begitu, pasokannya juga sulit," katanya.

Saat ini, harga udang api-api berukuran kecil mencapai Rp 21.000 per kilogram (kg). Selain mahal, udang api-api tak mudah lagi ditemukan di perairan Indramayu. Jadi, kalau ada pesanan khusus saja, baru Sidik membuat kerupuk udang dengan bahan baku udang. Harga jualnya Rp 35.000 sekilo.

Saein, pemilik Dua Gajah, bercerita, udang api-api mulai langka dari pasar Indramayu sejak 1987. Saat itu, banyak nelayan beralih menjadi petambak udang windu. Namun, "Udang ini sulit dijadikan bahan baku kerupuk. Lagipula, harganya mahal," ujar Saein.

Lantaran harga udang api-api mahal, seluruh pembuat kerupuk di sentra Kenanga tidak memproduksi kerupuk udang lagi. "Tidak ada yang berani, risikonya terlalu besar," ucap Murtasim, pemilik Kelapa Gading sekaligus ketua Ikatan Keluarga Besar Pengusaha Kerupuk Indramayu (IKBPKI).

Namun, Tomo, pemilik Kijang, mengungkapkan, kenaikan harga bahan baku tidak hanya terjadi pada udang api-api saja. Tetapi juga jengkol. Sejak dua bulan lalu harga sekilo jengkol sudah mencapai Rp 11.000 atau naik Rp 2.500.

Lonjakan harga ini jelas memberatkan Tomo dan pembuat kerupuk jengkol lainnya. "Saya tidak mungkin menaikkan harga kerupuk jengkol lagi dan menurunkan jumlah produksi kerupuk. Ya sudah, laba yang akhirnya saya korbankan," kata dia.

Setiap lima hari Tomo membutuhkan tiga kuintal jengkol. Ia membeli jengkol sebanyak itu dari Pasar Indramayu dan Pasar Patrol, yang kemudian diolah menjadi kerupuk dan dijual seharga Rp 8.000 per kg ke Cirebon dan Sumatra.

Menurut Sidik harga jengkol suka naik turun. "Pernah mencapai Rp 13.000 per kg," tuturnya. Karena itu, ia tak banyak memproduksi kerupuk jengkol. Sehari, dia hanya membuat kerupuk jengkol dari 6 kg jengkol yang dibelinya di Patrol.

Sidik lebih banyak membikin kerupuk bawang putih. Apalagi, saat ini, harga bawang putih sedang turun, hanya Rp 15.000 per kg. Saban hari, ia membeli 2,5 kuintal bawang putih dari Pasar Jatibarang.

Bahan baku yang juga naik dan bikin pusing pengusaha kerupuk di sentra Kenanga adalah tepung tapioka atau aci. Kini, harga aci mencapai Rp 465.000 per kuintal, terus menanjak sejak 2009 yang saat itu hanya sebesar Rp 343.000 per kuintal.

Karena harga aci perlahan tapi pasti terus naik, Tomo pun memutuskan mengerek harga jual kerupuk jengkolnya pada Desember 2010 lalu. "Harga kerupuk jengkol saya tadinya Rp 7.000 per kg, sekarang Rp 8.000 per kg. Banyak konsumen protes, mereka bilang, barang-barang sudah turun, kok kerupuk makin mahal," ujarnya.

Tak hanya harga jengkol dan aci yang bikin produsen kerupuk puyeng. Harga garam juga. Sejak awal Desember 2010, harga garam sudah menyentuh Rp 1.400 per kg. Sebelumnya, waktu musim kemarau, harganya masih Rp 250 per kg. "Kenaikannya memang pelan-pelan dalam setahun tapi tajam," ungkap Sidik.

Harga garam melonjak lantaran hujan hampir setiap hari turun sehingga petani kesulitan memproduksi komoditas berasa asin ini. Sidik bilang, banyak petambak garam di Kecamatan Eretan, Indramayu, hanya menghasilkan sedikit garam. "Jadi rebutan konsumen termasuk produsen kerupuk di sini," ucapnya.

Bila pasokan garam di Indramayu habis, mau tak mau produsen kerupuk lari ke Jatibarang, sekitar satu jam berkendara dari Desa Kenanga. Sehari-hari, Sidik butuh 20 kg garam untuk memproduksi 2,5 kuintal kerupuk bawang putih.

Meski bahan baku kerupuk pada naik, Sidik tidak menaikkan harga jual kerupuknya. Ia punya strategi lain agar omzetnya yang rata-rata Rp 100 juta setiap bulan tidak jauh berkurang. "Saya lebih banyak memproduksi kerupuk bawang putih yang harga bawang putihnya sedang turun. Saya juga ikut koperasi untuk mendapatkan harga tepung tapioka yang lebih murah dibandingkan di pasaran," ujar dia.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×