Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Tri Adi
Sejak 2008 lalu, pengunjung di sentra peralatan salon Pasar Baru, Jakarta Baru semakin sepi. Akibatnya, omzet pedagang merosot tajam hingga 50%. Salah satu penyebabnya, harga alat-alat salon yang kebanyakan impor naik dalam satu tahun belakangan. Aturan impor yang tumpang tindih, juga menjadi problem.
Sebagai sebuah pusat penjualan peralatan salon ternama di ibukota, sentra Pasar Baru memang selalu dibanjiri pembeli, mulai dari pembeli eceran hingga grosiran. Mengingat bisnis kecantikan yang terus berkibar di negeri ini, seharusnya pelanggan makin meningkat tiap tahun.
Namun, menurut Tommy, pemilik Sinar Mentari Jaya, kenaikan jumlah pembeli hanya terjadi sebelum 2008. Setelah itu, jumlah pengunjung semakin berkurang.
Puncaknya terjadi pada akhir 2010. Tommy mengungkapkan, terjadi penurunan omzet hampir 40%. "Saya tidak tahu apa penyebabnya, sepertinya daya beli masyarakat menurun," ujar dia.
Kondisi ini membuat Tommy heran bukan kepalang. Soalnya, pemerintah selalu berkoar-koar daya beli masyarakat sudah pulih dan kembali naik. "Statistik yang diklaim pemerintah jauh berbeda dengan kenyataan di lapangan," tegasnya.
Senada dengan Tommy, Welly Witana, pemilik Kantva Puspita, mengatakan, selama dua tahun terakhir, penghasilan tokonya turun lumayan signifikan, hingga 50%.
Bisa jadi, Welly menduga, salah satu pangkalnya adalah semakin banyaknya jumlah pedagang peralatan salon di sentra Pasar Baru. "Namun, rata-rata mereka juga mengalami penurunan pendapatan," katanya.
Penyebab lainnya, kemungkinan lantaran kenaikan harga alat-alat salon dalam setahun belakangan. Kebanyakan peralatan salon yang dijual di sentra ini merupakan impor dari Amerika Serikat, China, dan Jepang.
Sejatinya, para pedagang sudah berusaha secara optimal agar harga tidak terlalu melambung tinggi. "Tapi, jumlah pelanggan tetap saja berkurang," ujar Welly.
Untungnya, penjualan sedikit tertolong dengan penjualan alat-alat salon berukuran kecil, mulai jepitan rambut hingga aneka sisir yang masih stabil. Sebab, penjualannya masih dalam partai besar.
Kendala lain yang mengganjal pedagang adalah tumpang tindih aturan main impor. Contoh, Kementerian Perdagangan membolehkan produk A masuk ke Indonesia. Tapi, Kementerian Kesehatan melarang produk tersebut dijual. "Alhasil, banyak produk yang meski bisa masuk tetap tidak bisa kami jual," ungkap Welly.
Contoh lain, di negara kita, segala produk yang berkaitan dengan peralatan salon maupun kosmetik impor yang bermerek sama tapi berbeda varian harus terdaftar dengan nomor yang berbeda. Ini sangat merepotkan pedagang.
Aturan ini jauh berbeda dengan di Singapura. Di sana, pedagang bisa menjual dengan mudah asalkan produk tersebut masih bermerek sama.
Aturan impor itu membuat para pedagang selektif memilih varian produk yang masuk dan harus cermat memperhitungkan keuntungan. Karena, imbuh Welly, percuma memasok banyak barang kalau tidak bisa dijual.
Apalagi, Welly mengungkapkan, ada oknum yang mencari keuntungan dari peraturan yang tidak tegas ini. Sering ada inspeksi dari Kementerian Kesehatan yang merazia produk-produk yang dilarang dijual sekalipun dibolehkan masuk oleh Kementerian Perdagangan.
Karena itu, Welly berharap pemerintah bisa membuat aturan main yang tidak tumpang tindih.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News