Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi
Sulit dan lamanya waktu pembuatan songket membuat harga kain tenun ini lebih mahal dibandingkan dengan kain ikat. Harga satu songket paling tinggi mencapai Rp 5 juta per lembar. Kebanyakan pembeli merupakan pembeli ritel. Dulu memang ada pembeli besar. Namun, kini, pembeli besar jarang datang.
Para penenun menggunakan berbagai pewarna untuk mewarnai benang tenun. Tenun lombok biasanya memiliki warna-warna alam seperti hitam dan cokelat. Warna-warna alam ini berasal dari pewarna alami.
Para penenun menggunakan serat pohon mahoni untuk cokelat kemerahan, batang jati untuk warna cokelat muda, biji asam untuk warna cokelat tanah, dan batang pisang busuk untuk cokelat tua. Selain itu, para warga Sukarara menggunakan campuran anggur dan kulit manggis untuk bahan warna alami ungu.
Namun, para perajin juga menggunakan pewarna kimia untuk warna-warna lain seperti merah muda, hijau muda, kuning, dan warna-warna yang sulit didapat dari pewarna alam.
Warna alam biasanya dipakai untuk tenun ikat. Sedangkan songket memiliki warna yang lebih cerah dengan aksen emas. Kain tenun ikat memiliki lebar 105 sentimeter. Panjangnya bisa mencapai 100 meter. "Kain ini dijual dalam bentuk meteran," imbuh Nurdin.
Kain ikat biasanya dipakai untuk bahan selimut, seprai, atau bahan pakaian. Harga tenun ikat ini mulai dari Rp 100.000 per meter untuk tenun ikat katun dengan warna kimia. Adapun harga tenun ikat dengan pewarna alam harganya bisa mencapai Rp 150.000 per meter.
Adapun harga jual tenun songket Lombok bervariasi mulai dari angka Rp 200.000 hingga Rp 5 juta per lembar berukuran lebar 120 cm dan panjang 2 meter.
Selain tenun, Lombok pun memiliki kain lain yang muncul belakangan. Namanya batik lombok. Batik lombok lebih terkenal dengan nama batik sasambo. Nama itu merupakan kependekan dari Sasak, Sumbawa, dan Mbojo.
Pembuatan batik ini melewati dua kali pengerjaan. Pertama, para pekerja menenun kain polos putih, lalu kain dibatik dengan canting. Sasambo memiliki motif khas. Misalnya gambar rumah adat dan lumbung, serta tokek. "Tokek merupakan hewan keberuntungan di Lombok," kata Nurdin.
Harga jual batik sasambo mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta untuk kain ukuran 1,2 x 3 meter. Namun, penjualan Sasambo sangat jarang di Sukarara. Para pengunjung biasanya mencari tenun yang memang sudah tenar di desa ini.
Robiah, pemilik Dharma Setya, mengatakan, pengunjung yang datang ke sentra tenun ini sulit dihitung. Memang ada saja rombongan turis lokal dan asing yang datang ke sentra ini. "Pengunjung yang datang belum tentu membeli," kata Robiah.
Robiah mengatakan, sebelum tahun 1998, pengunjung asing sering datang ketika musim libur. "Kalau sekarang tidak ada musimnya, jarang ada yang datang," imbuh Robiah. Ia mengatakan pembeli asing hanya datang satu atau dua rombongan per harinya. Pembeli besar pun makin sepi.
Pengunjung lokal lebih banyak di sentra ini. KONTAN mengamati, pengunjung sentra ini memang tak pernah sepi, dari pagi hingga sore hari. "Kadang sehari satu rombongan bisa beli semua, tapi pernah juga satu rombongan tidak ada yang beli songket," imbuh Nurdin. Minimal, lima songket bisa laku setiap hari dengan harga rata-rata Rp 500.000.
Masitah, pemilik toko tenun Tawakal mengamini hal itu. Pengunjung di sentra tenun bagian belakang terhitung sepi. Ia pernah mendapat pembeli grosir yang memborong semua tenun di tokonya. Pembeli ini datang dari Bali yang kemudian menjual tenun di Pulau Dewata itu. "Dia sudah dua kali datang, tapi sampai sekarang belum datang lagi," kata Masitah. Sekali borong, Masitah bisa mendapatkan puluhan juta dari si pembeli. Tentu saja, ia menjual dengan harga grosir.
Namun, pembeli borongan seperti itu jarang ada. "Kalau barang di mereka sudah habis, baru mereka datang lagi," imbuhnya. Tak cuma pembeli yang datang kadang-kadang, pasokan tenun dari para penenun di desa Sukarara pun tidak tentu. Selain karena pembuatannya lama, para perempuan di Sukarara hanya menenun kala senggang.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News