Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Tri Adi
Aneka bentuk tas berbahan daur ulang plastik sudah sering ditemukan. Kini, berkembang juga tas berbahan dasar kulit bekas jok kendaraan dan sofa. Meski memakai bahan sisa, potensi keuntungannya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Seiring dengan gerakan eco-friendly alias ramah lingkungan, bisnis daur ulang pun makin menghangat di tengah masyarakat. Sejak beberapa tahun lalu, produk-produk daur ulang, seperti tas yang terbuat dari limbah plastik rumah tangga, marak. Pasar produk daur ulang pun kian luas.
Sejatinya, banyak bahan lain yang layak didaur ulang menjadi barang bermanfaat. Salah satunya pelapis jok mobil dan sofa. Seperti halnya kemasan plastik, pelapis jok mobil dan sofa biasanya disulap menjadi aneka tas.
Lantaran tekstur dan warna bahannya yang lembut, kebanyakan peminat tas ini adalah kaum perempuan. Tapi, pasar produk ini sebetulnya bisa diperluas tak sebatas kaum wanita. Asalkan, si produsen kreatif membuat desain, misalnya membuat desain tas selempang. “Jadi, bisa digunakan untuk laki-laki juga,” tutur Efa Maydhona Saputra, mahasiswa Institut Teknologi Telkom, Bandung, yang juga menggeluti bisnis ini.
Sampai saat ini, kebanyakan aktivitas daur ulang bahan pelapis sofa dan jok mobil hanya menjadi pelengkap bisnis daur ulang plastik kemasan. Padahal, bila ditekuni, tambahan fulusnya lumayan besar.
Simak saja pengakuan beberapa pelaku bisnis ini. “Margin keuntungan bisa sebesar 35% dari omzet setiap bulan,” ujar Iik Depi Hermawan, perajin tas dari bahan bekas pelapis sofa di Bandung.
Sementara itu, Nuriana Kurniati, perajin tas sejenis asal Yogyakarta, menyebut bisa memetik margin 60%–65% dari omzetnya. Maklum, Nuriana masih mengerjakan sendiri seluruh proses pembuatan tas ini, sehingga ia bisa memaksimalkan laba.
Bahkan, Sekolah Hijau, sebuah sekolah buatan lembaga nirlaba Sarekat Hijau Indonesia, bisa mendulang margin laba 100%. Sebab, sekolah ini menerima zakat sampah dari masyarakat sekitar. Dengan kata lain, bahan bakunya gratis.
Pelajari Jurusnya
Namun, sebelum menjajal bisnis ini, sebaiknya Anda memahami dahulu seluk-beluknya. Kebetulan, para pelaku usaha ini senang berbagi cerita. Berikut ini adalah beberapa hal penting yang harus Anda perhatian sebelum menekuni bisnis ini.
Modal dan bahan baku
Meski daur ulang, bukan berarti bahan baku bisnis ini harus benar-benar bekas dan lusuh. “Bahan daur ulang bisa masih baru namun sudah tidak terpakai,” kata Iik. Untuk mencari bahan baru yang tidak terpakai ini, Iik menyambangi bengkel-bengkel sofa di kisaran Bandung, seperti di kawasan Rajawali dan Rancaekek.
Biasanya, saat memperbaiki sofa lama, bengkel sofa akan menghasilkan bahan sisa. Daripada terbuang percuma, Iik membeli bahan sisa ini. Lantaran bahan sisa, Iik tidak membeli dalam hitungan meteran, tapi kiloan. Keuntungannya, Iik bisa memperoleh banyak motif. Untuk jenisnya, Iik khusus memilih bahan chenille. Alasannya, bahan ini cukup tebal, kuat, serta memiliki corak yang halus dan cantik.
Iik membeli bahan ini seharga Rp 10.000–Rp 30.000 per kilogram (kg). Bandingkan jika membeli bahan secara meteran. Harga per meter bisa mencapai Rp 28.000–Rp 35.000. Bahkan, ada yang harganya mencapai Rp 50.000 per meter.
Melihat legitnya bisnis ini, Nuriana, yang saat ini membeli pelapis sofa secara meteran, berniat mengembangkan usahanya dengan bahan jok mobil bekas. Kebetulan, suami Nuriana, Supangat, bergerak di usaha bengkel jok mobil kendaraan.
Suaminya enggan menjual kembali jok mobil bekas tersebut karena harga di pasarannya sangat murah. “Harganya hanya sekitar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per satu set,” katanya. Padahal, satu set jok mobil terdiri dari kursi depan, tengah, dan belakang. Satu mobil keluarga dengan tujuh tempat duduk saja bisa menghabiskan 11 meter kain jok. Dengan mengubahnya menjadi tas, produk ini akan menghasilkan nilai tambah daripada sekedar dijual sebagai jok mobil bekas.
Anda juga bisa mencoba cara Sekolah Hijau, yakni mencari bahan baku secara gratis. Tapi, sebaiknya jangan terlalu mengandalkan cara ini. Soalnya, Sekolah Hijau tidak berorientasi pada bisnis murni, melainkan bagaimana mengajarkan ilmu daur ulang. Jika Anda berorientasi bisnis, ketersediaan bahan baku secara kontinu merupakan hal penting.
Nah, selain menyiapkan dana untuk membeli bahan baku, Anda juga harus menyiapkan modal untuk membeli mesin jahit dan komputer untuk keperluan membuat desain dan menjajakan produk Anda via internet.
Produksi dan tenaga kerja
Biaya operasional usaha ini tidaklah terlalu besar. Seorang pengusaha tas wajib memiliki mesin jahit khusus tas yang bisa menembus bahan kain tebal seperti jok. “Harganya sekitar Rp 1,7 juta sampai Rp 2,2 juta per unit,” kata Nuriana.
Selain itu, tenaga kerja adalah faktor kunci. Jadi, pengeluaran untuk pos inilah yang paling besar. Kecuali, jika skala produksi Anda masih kecil dan Anda terampil menjahit, Anda bisa melakukan pekerjaan ini sendiri. Meski begitu, sebaiknya Anda tetap memasukkan upah untuk diri Anda sendiri.
Menurut hitungan Efa, jika memakai bahan bagus sejenis beludru plus ongkos jahit, rata-rata biaya produksi bisa mencapai Rp 70.000 per tas.
Pemasaran
Produk yang bagus tanpa pemasaran yang baik akan percuma saja. Prinsipnya, semakin gencar pemasaran, kemungkinan mendapat pesanan pun semakin besar.
Nuriana mengaku tidak terlalu agresif memasarkan produknya karena pembuatan tas ini masih sambilan. “Hanya dari mulut ke mulut saja,” katanya.
Toh, dengan pemasaran yang tidak agresif, Nuriana bisa menjual 40 tas setiap bulan. Harga tas dia patok antara Rp 40.000–Rp 50.000 per buah. Jadi, ia bisa mendapat omzet Rp 1,6 juta sampai Rp 2 juta per bulan.
Efa yang masih kuliah juga belum terlalu agresif memasarkan produknya. Apalagi, dia baru menjalani usaha ini dalam waktu dua bulan. Efa memilih menjual produknya melalui Forum Jual Beli KasKus. “Dalam dua bulan ini, penjualannya baru 20 tas,” katanya.
Nah, dengan desain yang berbeda dari tas sofa pada umumnya, Efa berani menjual tas hasil karyanya dengan harga Rp 90.000 per buah.
Sementara itu, Iik cukup rajin mengiklankan produknya di internet. Dia juga memiliki blog pribadi untuk memasarkan produknya. Saat ini, Iik mengaku, bisa mendapat omzet sampai Rp 10 juta per bulan.
Lain lagi ceritanya dengan Sekolah Hijau. Sekolah yang cukup populer ini memiliki jaringan di 19 kabupaten. Jaringan ini turut mendongkrak popularitas produk daur ulang keluaran Sekolah Hijau. Meski jumlah pesanan tidak rutin, sekali pesanan datang rata-rata mencapai 200 buah. “Yang terakhir pesanan datang minta dibuatkan 1.300 buah,” tutur Prapti Wahyuningsih dari Divisi Pendidikan Perempuan dan Anak Sarekat Hijau Indonesia, pengelola sekolah ini.
Tak bisa dipungkiri, pesanan bisa bejibun karena Sekolah Hijau bisa menekan harga jualnya. Maklumlah, Sekolah Hijau memperoleh bahan baku tas daur ulang dari zakat masyarakat sekitarnya. Dus, biaya bahan bakunya boleh dibilang nol. “Ini membuat produk kami bisa dijual lebih murah, antara
Rp 10.000 sampai Rp 12.000 saja,” kata Ningsih.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News