Reporter: Feri Kristianto | Editor: Tri Adi
Berawal dari kehilangan pekerjaan di usia 52 tahun, I Wayan Sukhana bisa bangkit dengan membangun bisnis sendiri. Terjun di bisnis produk spa, kini ia menjadi salah satu produsen terbesar di Bali dan memasarkan produknya ke luar pulau.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai bisnis. Prinsip ini dipegang oleh I Wayan Sukhana, pendiri aneka produk spa bermerek Bali Tangi. Tengok saja, perusahaan produsen dan pemasok pernak-pernik kebutuhan spa ini baru dia dirikan sepuluh tahun lalu, ketika usianya sudah 52 tahun.
Bagi sebagian orang, mungkin usia di kepala lima merupakan sinyal untuk mulai menjalani fase hidup tak produktif. Tapi, Sukhana bersama Ni Made Yuliani, sang istri, membuktikan anggapan itu salah. Produk-produk aroma terapi, scrub, dan masker bikinan Bali Tangi kini sangat terkenal di kalangan pengusaha spa di Bali maupun di luar Bali.
Sukhana dan Yuliani termasuk pelopor industri produk spa tradisional di Bali. Saat mendirikan Bali Tangi, belum ada perusahaan pembuat produk spa. Kini, sekitar 40% hotel berbintang di Bali menggunakan produk spa Bali Tangi.
Sukhana mematok harga produk Bali Tangi antara Rp 15.000–Rp 85.000 per item. Tapi, di tingkat pemasar atau penjual eceran, harga bisa melambung sampai Rp 250.000 per item. Meski tidak bersedia menyebut nilai, omzet per bulan Bali Tangi bisa mencapai ratusan juta rupiah. Satu produk scrub ukuran 100 gram dia jual Rp 20.000. Saban bulan Sukhana menjual 300 kilogram, berarti dari satu item ini saja dia mencatat omzet Rp 60 juta. Padahal, Bali Tangi punya 15 jenis produk scrub. Belum lagi produk-produk aroma terapi dan masker alami.
Kesuksesan ini tidak pernah dibayangkan oleh pasutri asal Banjar Terusan, Lelateng, Negara, ini. Uniknya, Sukhana mengawali bisnis ini tanpa rencana matang. Semua berawal dari kebangkrutan PT Kresna Karya, perusahaan farmasi tempatnya bekerja, pada 1998. Saat itu ia terpaksa mundur sebagai salah satu pimpinan dengan pesangon Rp 6 juta.
Kejadian ini membuat Sukhana syok. Sebab, usianya saat itu 52 tahun. Alhasil, pada 1999 ia memutuskan pulang ke Bali. Awalnya ia tidak tahu harus bekerja di mana. Tapi, berkat dorongan Yuliani, ia tetap tegar. Demi istri dan ketiga anak yang mulai menginjak remaja, ia merintis usaha sendiri.
Usaha pertama Sukhana adalah berjualan aksesori bando dan karet gelang buatan China. Ia mengedarkan produk itu ke beberapa swalayan di Denpasar. Sayang, bisnisnya tidak berjalan lancar. Lantaran banyak barang tidak laku, usahanya gulung tikar.
Tapi, Sukhana tidak pantang menyerah. Belajar dari bisnis pertamanya, ia mulai mencari peluang berbisnis barang yang lebih dibutuhkan masyarakat. Pilihan jatuh pada bisnis berjualan suvenir produk kesehatan tradisional seperti aroma terapi, sabun untuk pijat, tempat sabun dari batok kelapa, dan aroma terapi, termasuk dupa.
Memunguti bunga
Di Bali, bisnis ini bukan hal baru. Banyak penjual produk ini. Bedanya, Sukhana menjual produk suvenir ini dalam satu paket sehingga lebih murah. “Berhubung tak punya jiwa seni ukir, saya pilih ini,” dalihnya.
Di awal usaha, pasutri ini bahu-membahu mencari bahan baku. Bermodalkan mobil Daihatsu Hijet 1000, mereka memunguti bunga kamboja kering, buah ketapang, dan buah camplung di sepanjang jalan raya di Denpasar. Kebetulan, pohon-pohon itu banyak ditanam sepanjang jalan. Setelah bersih, bunga dibungkus dan dijual ke toko atau pasar.
Semangat pantang menyerah Sukhana dan istrinya menarik minat seorang pengusaha spa. Tahun 2002 pemilik spa di Sanur minta mereka menyediakan produk lulur spa untuk wisatawan Eropa, Jepang, dan Taiwan. Saat itu produk lulur spa belum dikenal. Orang baru mengenal aroma terapi.
Sukhana mengiyakan tawaran ini. Tapi, lantaran tanpa modal pengetahuan, tiga kali produknya ditolak. Setelah tahu bagaimana mengolah, lulur ramuannya diterima pemilik spa. “Saya nekat meski belum tahu lulur. Kebetulan, istri tahu cara membuat boreh, lulur tradisional Bali,” ujar dia.
Produk pertama yang dia buat adalah lulur alami dari tanah. Lalu Sukhana membuat produk scrub dari rempah-rempah dan bunga. Ia menggunakan referensi buku-buku panduan untuk membuatnya. Waktu itu satu kilogram serbuk scrub dijual seharga Rp 25.000.
Saat permintaan mulai meningkat, Sukhana memberi merek produknya Dupa Mutiara, lantas diubah menjadi Bali Tangi. Nama Tangi dipakai agar lebih diterima masyarakat sekaligus mengartikan kebangkitan Sukhana yang berwirausaha di usia 52 tahun.
Kelebihan produk Bali Tangi adalah bentuknya yang berupa bubuk dan sabun, beda dengan lulur tradisional yang masih berupa rempah dan dedaunan. Selain itu penjualannya sudah dalam bentuk paket siap pakai.
Sejak dua tahun silam Sukhana telah membangun pusat distribusi produk Bali Tangi dan usaha spa dengan nama dagang Rumah Lulur di Sunset Road, Kuta, Bali. Khusus distribusi di luar Bali, Bali Tangi memiliki distributor di Jakarta, Surabaya, dan Singapura.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News