kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

UMKM unggulan masih terganjal


Selasa, 24 Agustus 2010 / 11:05 WIB
UMKM unggulan masih terganjal


Reporter: Anastasia Lilin Y, Rizki Caturini, Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi

Himpunan Perajin Indonesia (Himpi) menyebut sektor kulit, anyaman, serta aksesori dan perhiasan berpotensi besar untuk maju. Karena memiliki keistimewaan dibanding produk dari negara lain. Namun, sejumlah kendala masih merintangi ketiga sektor ini.

Meski berskala kecil, industri usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) adalah kekuatan besar bagi perekonomian nasional. Tengok saja data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu yang menyebutkan, jumlah pelaku UMKM mencapai 51,3 juta usaha.
Angka ini setara dengan 99,9% total pelaku usaha di Indonesia. Sisanya, sebesar 0,1% ditempati perusahaan besar. Namun, jumlah ini hanya mampu menyumbang 55,56% terhadap total pendapatan nasional.

Direktur UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Nining I Soesilo berpendapat, sumbangsih UMKM belum maksimal karena pelakunya tak mendapat perhatian maksimal. UMKM harus mendapat pelatihan agar bisa bersaing secara lebih profesional. "Pemerintah juga harus memikirkan bantuan pendanaan bagi UMKM," katanya.

Ketua Umum Himpunan Perajin Indonesia (Himpi) Siti Suprapti berpendapat, meski produk dari China sudah merangsek masuk, para perajin kecil domestik masih bisa merebut pasar. Kuncinya harus ada inovasi.

Siti bilang, dari bermacam jenis industri kerajinan UMKM, sektor keramik dan garmen mendapat saingan berat dari produk China. Di luar itu, ada tiga sektor UMKM dalam negeri yang berpotensi besar untuk maju. "Kerajinan yang bisa menjadi andalan, adalah anyaman, kulit, serta aksesori dan perhiasan," kata Siti.

Ketiga sektor tersebut potensial karena bahan baku berlimpah di dalam negeri. Selain itu, karakter ketiga kerajinan tersebut adalah handycraft atau dibuat dengan tangan.

Tahun ini Himpi menargetkan nilai ekspor kerajinan menembus US$ 650 juta. Pada 2009, nilai eskpornya mencapai US$ 568,8 juta. Sampai kuartal I-2010, nilai ekspor kerajinan sebesar US$ 143 juta. Pencapaian ini naik 18,25% dari periode yang sama tahun lalu.
Berikut ini potret ketiga sektor kerajinan yang dianggap potensial. Sejumlah perajin mengaku optimistis dengan produk buatannya dan tak gentar dengan serbuan produk China.

n Industri Kulit
Perajin kulit Fifi Lutfia yang mengusung bendera usaha CV Fifi Collection dan memproduksi tas berpendapat, produk kulit dalam negeri memiliki kualitas yang bisa bersaing dengan produk impor. "Produk kulit dari China sebenarnya tidak bagus," kata dia.

Kualitas produk kulit lokal bagus berkat bahan baku berlimpah dengan harga relatif lebih murah. Dia mencontohkan, harga kulit sapi lokal sekitar Rp 1 juta per lembar. Sementara di Singapura, misalnya, harganya hingga Rp 5 juta.

Saat ini, per bulan Fifi memproduksi 100 tas dari kulit sapi dan domba serta 50 unit tas kulit ular. Harganya berkisar dari Rp 500.000 hingga jutaan rupiah.

Meski belum menembus pasar luar negeri, Fifi melihat peluang ekspornya menganga cukup lebar. "Saya harap pemerintah membantu pemasaran," imbuhnya.

Selama ini, Fifi terkendala polah penyamak kulit dalam negeri yang lebih suka menjual kulit ke luar negeri. Mereka terpikat harga kulit yang lebih mahal di sana. Akibatnya, harga kulit di pasar domestik juga ikut terkerek.

Sementara Makhbub Junaedi, pemilik UD Rafi Jaya di Sidoarjo, Jawa Timur, membuat tas dari kreasi bahan kulit dengan kain tradisional Timor. Konsumen utama produk tasnya adalah pemerintah Timor Leste. Kerjasama ini sudah berlangsung sejak tahun 2008.

Selain Timor Leste, produk Makhbub mampu menembus pasar Singapura. Hanya saja, perihal pembayaran masih menjadi kendala utamanya. "Kami inginnya bayar dulu baru dikirim karena skalanya UKM. Tapi mereka minta sebaliknya," kata Makhbub.

Harga jual tas Rafi Jaya termasuk murah, antara
Rp 350.000-Rp 1,5 juta untuk tas berbahan kulit sapi dan domba. Dengan serapan tenaga kerja 15 orang, Makhbub memproduksi 1.000 dompet, 400 ikat pinggang dan sekitar 100 tas.

n Industri Anyaman
Kerajinan anyaman jelas menjadi industri yang sangat membutuhkan keterampilan tangan. Kejelian, ketelitian, dan kreativitas menciptakan produk yang menjadi tren di pasar menjadi prasyaratnya.

Agus Nedi Junaedi, pengusaha anyaman rotan di Cirebon, termasuk salah satu yang menikmati berkah dari banyaknya permintaan. Pemilik CV Angie Rotan ini tak menemukan banyak kesulitan menembus pasar ekspor. Ini berkat kerajinannya mengikuti pameran.

Agus mengekspor produknya ke Libanon, Finlandia, Australia, Jordania, dan Syria. Hampir seluruh produk kerajinan tangannya untuk pasar eskpor. "Hanya 10% penjualan untuk pasar lokal," kata dia.

Dia mengungkapkan, kerajinan rotan tanah air sudah tersohor kualitasnya di pasar internasional. Namun, kualitas baik yang berbanding lurus dengan harga ini kerap menjadi kelemahan. Sebab, menjadi celah bagi pasar lain yang menawarkan harga lebih miring meski kualitasnya tak lebih bagus.

Ancaman terbesar datang dari China dan Vietnam. Apalagi sejak kedua negara tersebut boleh mengimpor bahan baku rotan dari Indonesia pada tahun 1998. Ini membuat aksi rebutan pasar pun tak terelakkan.

Selain harga jual miring, peran pemerintah di kedua negara tersebut membuat para pelaku usaha di sana amat ekspansif. "Sementara perajin lokal tak mendapat subsidi," keluh Agus.

Alhasil, omzet Agus kini mulai mengempis. Jika lima tahun lalu dia bisa membukukan omzet sampai Rp 5 miliar per bulan, sekarang hanya di kisaran Rp 80 juta. Penyebabnya pembeli kerajinan rotan di dunia sudah membagi asal impor, tak hanya dari Indonesia tapi juga dari China dan Vietnam.

Nasib Tumijo, perajin anyaman berbahan baku eceng gondok dan pandan di Yogyakarta, lebih mujur. Permintaan kerajinan anyaman ini terus merangkak naik. "Walau sempat turun pasca bom Bali," ujarnya.

Malah, Tumijo mengaku kerap kesulitan memenuhi permintaan karena keterbatasan sumber daya manusia. Tiap bulan, dia mengirim 600 unit produk anyaman ke Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. "Omzetnya sekitar Rp 80 juta tiap kali kirim," katanya.

Selain mengisi pundi-pundi pribadi, Tumijo memberdayakan warga sekitar untuk menjadi perajinnya. Puluhan orang sekarang hidup dari usaha UMKM ini.

n Industri Aksesoris & Perhiasan
Mochamad Musa, perajin perak asal Sidoarjo, Jawa Timur yang sudah 10 tahun dia menjalankan bisnisnya mengatakan, dia tak terkena dampak apapun dari adanya perjanjian perdagangan bebas dengan China. "Ada perbedaan desain dengan produk China," katanya.

Musa membuat aneka perhiasan seperti cincin, gelang, anting-anting, dan bros dari bahan perak bakar. Proses produksinya secara handmade membuat produknya memiliki kelebihan. Cara Musa mengkreasikan perak dengan beberapa bahan seperti batuan, kulit kerang, dan kayu menjadi nilai lebih produk tersebut.

Soal pasaran, Musa tak khawatir karena pasar menengah atas justru menggemarinya. Saat ini dia baru secara rutin memasok produknya ke pasaran Bali dan Yogyakarta. Harga aneka perhiasan itu Rp 20.000-Rp 100.000 per unit.

Tiap bulan, Musa membutuhkan 30 kilogram perak. Dia mengolah perak bersama 25 karyawannya dan bisa meraih omzet Rp 250 juta.
Meski belum menembus pasar ekspor, Musa yakin produknya memiliki potensi besar di pasar internasional. Saat ini, Musa berupaya menembus pasar Timur Tengah.

Tata Natasuminta, pemilik usaha aksesori Bedsndesign, sependapat dengan Musa bahwa produk China bukan ancaman. Selama tujuh tahun berbisnis, pasar menggemari produknya karena desainnya yang unik. "Kalau produk China itu tidak ada yang unik-unik," ujarnya.

Perempuan berjilbab ini membuat aneka aksesori dari padupadan aneka batuan dengan berbagai bahan seperti perak, kawat, dan logam lain.
Harga jual produknya antara Rp 50.000 - Rp 6 juta. Dia memasarkan produknya di Jakarta dan Surabaya. saat ini Tat membukukan omzet Rp 50 juta saban bulan.

Namun dalam menjalankan usahanya, Tata terkendala dengan ketersediaan bahan baku. Perak dalam negeri kerap dilego ke pasar luar. Kalau ingin memakai perak kualitas baik, harus membelinya dari luar negeri. "Padahal itu perak dari kita juga," tandas Tata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×