kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Untung nan legit dalam sebatang cokelat


Selasa, 19 Maret 2013 / 15:30 WIB
Untung nan legit dalam sebatang cokelat
ILUSTRASI. TAJUK - Syamsul Ashar


Reporter: J. Ani Kristanti, Sofyan Nur Hidayat | Editor: Tri Adi

Sebagai negeri penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, Indonesia tidak kekurangan bahan baku untuk produk. Situasi itu yang membuka peluang bagi perkembangan industri cokelat, seiring dengan kenaikan daya beli masyarakat. Bisnis pariwisata yang kian ramai menambah besar peluang bagi pemain baru yang ingin bergelut di produk cokelat lokal.

Dua tahun terakhir ini,  pemerintah kian getol mendorong industri hilir kakao. Maklum, Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Ghana dan Pantai Gading.  

Alhasil, beberapa pabrik pengolahan kakao yang ada meningkatkan kapasitas produksi. Niat pemerintah juga mengundang investor baru, seperti JB Cocoa yang akan membangun pabrik di Surabaya, Barry-Comextra serta Cargill Cocoa di Makasar.

Dengan berdirinya pabrik pengolahan kakao nanti, jelas, akan menambah pasokan bahan baku cokelat di Indonesia. Buntutnya, para produsen cokelat lokal akan semakin mudah mendapatkan bahan baku.  

Inilah potensi yang bisa ditangkap sebagai peluang memproduksi beragam produk cokelat. Apalagi, dengan kemampuan daya beli penduduk Indonesia yang makin tinggi memungkinkan konsumsi produk cokelat terus melonjak.

Thierry Detournay, pemilik PT Anugerah Mulia Sentosa, produsen Cokelat Monggo, mengakui adanya peningkatan konsumsi cokelat. Dia bilang, dibandingkan dengan sembilan tahun lalu, ketika dia mulai merintis bisnis cokelat, peluang berbisnis cokelat sekarang jadi semakin besar. “Perilaku konsumen telah jauh berubah. Daya beli untuk membeli produk tersier makin tinggi,” ujarnya.  Pertumbuhan kelas menengah menjadi mesin pendorong konsumsi yang lebih baik.

Selain itu, persepsi cokelat telah berubah. Informasi soal cokelat yang banyak mengandung gula dan lemak, hingga menambah gemuk, mulai terkikis. Berkat edukasi khasiat baik cokelat, banyak orang justru berbalik mengonsumsi cokelat, bukan menghindarinya.

Di Cokelat Monggo, Thierry melihat peningkatan penjualan produk mencapai 20% per tahun. “Potensi pertumbuhan masih besar karena tingkat konsumsi cokelat di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain,” katanya.

Thierry, yang memulai usaha pembuatan cokelat di Yogyakarta itu, sejak awal memosisikan produknya sebagai suvenir oleh-oleh khas Kota Gudeg ini. Tak heran, ia membungkus cokelatnya dengan kemasan penuh gambar yang lekat dengan budaya Jawa. Misalnya menampilkan tokoh wayang.

Setelah sembilan tahun menggeluti usaha ini, Cokelat Monggo mengolah hingga empat ton bahan baku cokelat setiap bulan. Padahal, pada 2004 silam, Thierry memulai usahanya dengan kapasitas lima kilogram setiap bulan.

Tak jauh berbeda, Meika Hazim, pemilik Cokelat Ndalem, juga mengincar pasar para pelancong yang datang ke Yogyakarta. Dia melihat potensi cokelat sebagai buah tangan cukup besar, karena cokelat kerap dibawa oleh kolega atau teman saat mereka datang dari luar negeri. “Padahal, Indonesia merupakan produsen cokelat, kenapa tidak membuatnya sendiri?” jelasnya. Nah, Anda tertarik mengikuti jejak mereka?

Jika ingin memulai bisnis ini, sebaiknya Anda jatuh cinta dulu terhadap cokelat. Dengan menyukai beragam produk cokelat, Anda akan mengetahui citarasa dari sebuah cokelat, dan dapat mengenali cokelat yang lezat.

Ketertarikan Thierry dan Meika juga berawal dari kegemaran mereka mengunyah cokelat. Tak adanya produk permen cokelat yang berkualitas mendorong Thierry untuk belajar membuat cokelat sendiri. Ia sampai kembali ke Belgia, negeri asalnya, khusus belajar membuat cokelat.


Angkat budaya lokal

Cokelat Monggo juga berawal dari usaha kecil. Saat merintis usahanya pada 2004, Thierry hanya bermodal Rp 100 juta. “Biaya investasi paling besar adalah pengadaan tempat dan membangun instalasi,” ujar dia.

Usaha pembuatan cokelat memang cukup sederhana. Menurut Thierry, peralatan yang dibutuhkan hanyalah alat untuk memasak cokelat, seperti wadah panci, sendok adonan, dan cetakan khusus cokelat. “Peralatan ini banyak tersedia di toko-toko perkakas atau browsing di internet. Khusus cetakan, pilih yang bahannya bagus, seperti polikarbonat,” pesan Thierry. Jangan lupa, sediakan cooler lemari pendingin untuk tempat menyimpan cokelat yang sudah jadi.

Thierry menaksir, saat ini, untuk membuka usaha cokelat, seperti miliknya dulu, membutuhkan modal Rp 500 juta. Biaya paling besar adalah untuk menyewa tempat, biaya renovasi, dan pemasangan instalasi.

Pasalnya, untuk membuat cokelat yang berkualitas dibutuhkan tempat yang bersih dengan suhu dan tingkat kelembapan yang terjaga. “Cokelat sangat sensitif terhadap suhu, dingin dan panas, maka usahakan, suhu ruangan berkisar 20° Celsius,” jelasnya. Sebagai pemain tahap awal, Thierry juga menyarankan, untuk menyewa bangunan yang bisa berperan sebagai tempat produksi sekaligus gerai penjualan.  

Untuk menghemat modal, dia juga menyarankan memulai usaha dari skala kecil. “Pemain baru sebaiknya melihat respons pasar dulu,” katanya. Apalagi, proses pembuatan cokelat tak mudah. Butuh keberanian untuk melakukan trial and error hingga mendapatkan produk yang diterima konsumen.

Pada tahap awal, Anda bisa mencoba memasak sekitar lima kilogram (kg) bahan baku cokelat. Dari jumlah itu, Thierry bilang, bisa dihasilkan sekitar 50 bar cokelat. Oh ya, Anda juga perlu mengetahui, bahan baku cokelat secara garis besar bisa dibagi menjadi dua jenis: cokelat couverture dan cokelat compound. Cokelat couverture mengandung cocoa butter 32% hingga 39%, hingga cepat lumer di mulut, lebih enak dan mengkilap. Karena itu, harga cokelat couverture lebih mahal. Adapun cokelat compound merupakan perpaduan bubuk cokelat, lemak nabati, dan pemanis.

Thierry bilang, untuk menyajikan kualitas produk yang baik, Monggo menggunakan cokelat couverture. Hanya, teknik pembuatan cokelat dengan menggunakan bahan baku ini lebih sulit.

Cokelat Ndalem, yang mulai meluncur pada 11 Februari 2013 itu, menggunakan bahan baku cokelat yang beragam. Meika bilang, ada empat bahan baku cokelat yang dipakai, dengan harga mulai Rp 60.000 per kg hingga Rp 100.000 per kg.

Meika, yang pernah membuka usaha sejenis sebelum mendirikan Cokelat Ndalem, menggunakan mesin-mesin dan cetakan yang diimpor dari Belgia serta China. Untuk membeli peralatan itu, ia pun harus merogoh investasi hingga Rp 25 juta. “Investasi mesin dan cetakan ini modal terbesar yang harus dikeluarkan,” jelasnya.

Mesin-mesin ini memiliki kapasitas produksi 10 kg hingga 30 kg dalam satu proses produksi. Dalam sehari, Meika melakukan tiga hingga empat kali proses produksi. Untuk menjalankan seluruh proses produksi itu, Meika, yang berbisnis bareng suami, dibantu oleh tiga orang karyawan.

Untuk mendapatkan variasi produk, Anda juga boleh mencampurkan adonan cokelat dengan bahan-bahan lain.  “Kekuatan kami adalah percampuran budaya Belgia dan Indonesia,” kata Thierry.

Oleh karena itu, Thierry melengkapi produknya dengan cokelat jahe dan cabai. Nyatanya, produk ini cukup diterima dan disukai pasar. “Mungkin, awalnya orang tertarik dan penasaran,” ujar Thierry. Selain jahe dan cabe, Cokelat Monggo juga menyediakan cokelat bercampur buah, seperti mangga, durian, dan stroberi.

Sama seperti Cokelat Monggo, variasi Cokelat Ndalem cukup beragam. Meluncur bertepatan dengan hari kasih sayang, Meika membuat cokelat edisi cinta dengan tema rempahnesia, yakni cokelat cengkeh, kayu manis, dan sereh.

Setelah edisi cinta, perempuan yang pernah menyabet gelar Diajeng Yogyakarta 2005 itu tengah menyiapkan Serangan Cokelat 1 Maret, yang terinspirasi dari peristiwa sejarah serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Cokelat Serangan 1 Maret akan menawarkan sembilan rasa cokelat. Selain tiga rasa rempah, ia juga merilis rasa peppermint, jahe dan cabai, serta seri klasik yaitu dark, extra dark, dan less sugar dark.

Selain kualitas produk dan citarasa, Anda juga harus memikirkan soal kemasan produk. Budaya lokal bisa menjadi inspirasi pembungkus cokelat yang unik. Tapi, yang pasti, untuk menjaga kualitas produk, Anda harus membungkus cokelat dengan kertas aluminium foil terlebih dahulu.

Selain budaya lokal, Cokelat Monggo juga mengikuti tren lingkungan dengan mengangkat tema ramah lingkungan untuk mengemas cokelatnya. “Kami memakai kertas daur ulang, karena konsumen juga lebih peduli,” tutur Thierry.

Tak hanya kemasan, kreativitas juga harus dikembangkan dalam hal promosi. Selain memanfaatkan momen spesial, seperti Valentine, Anda bisa menggenjot penjualan dengan berbagai promosi.

Maraknya konser musik juga bisa menjadi media promosi yang tepat. Selain itu, media sosial juga bisa dipakai untuk mempromosikan produk. “Kami memakai Facebook, Twitter, dan website. Selain itu, kami masuk ke komunitas, seperti Liburan Jogja dan Pariwisata Jogja,” ujar Meika.

Meika juga rajin menyambangi toko oleh-oleh di berbagai tempat wisata di Yogyakarta. Ia menerapkan skema konsinyasi dengan pemilik toko oleh-oleh tersebut.

Dengan promosi yang gencar ini, meski belum ada sebulan, Meika cukup puas. Permintaan menjadi jauh lebih besar, sehingga ia harus meningkatkan produksi. Cokelat Ndalem dijual mulai dari harga Rp 17.000 hingga Rp 25.000.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×