kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Warsito, dari tukang las menjadi juragan gerobak


Rabu, 05 Januari 2011 / 14:10 WIB
Warsito, dari tukang las menjadi juragan gerobak


Reporter: Diade Riva Nugrahani | Editor: Tri Adi

Siapa bilang orang miskin enggak bisa sukses? Asal ada kemauan, siapa pun bisa sukses. Bermodalkan semangat wirausaha dan kreativitas, Warsito kini dikenal sebagai pengusaha gerobak waralaba. Omzetnya saban bulan bisa mencapai ratusan juta.

Kalau Anda mencari kata “gerobak” di mesin pencari Google, Anda pasti menemukan situs rajagerobak.com. Portal penjualan gerobak milik PT Biru Sejahtera Abadi (BSA) ini sudah mencetak ratusan gerobak modern untuk berbagai jaringan franchise yang ada di Indonesia.

Sebut saja Kebab Baba Rafi, Corner Kebab, Amazy Fried Chicken, sampai Piramiza, semua memakai gerobak atau booth buatan BSA. Perusahaan yang bergerak di bidang produk peralatan dapur dan restoran ini adalah milik Wasito.

Tapi, semua tidak seperti membalikkan telapak tangan. Jalan berliku harus dilalui pria kelahiran Kebumen 9 November 1972 ini sebelum meraih sukses seperti sekarang.

Warsito kecil berasal dari keluarga miskin di Desa Tambak Agung, Klirong, Kebumen, Jawa Tengah. Ketika hendak masuk sekolah dasar (SD), Warsito kecil sudah ditinggal ibunya yang meninggal dunia karena sakit.

Ia pun terbiasa mengurus segala sesuatu seorang diri. Jika lapar, Warsito menguntit ayahnya di sawah supaya bisa kebagian jatah makan siang. Alhasil, jatah makan satu porsi terpaksa dibagi berdua.

Selama sekolah, Warsito tidak pernah sanggup membeli baju seragam dan sepatu. Sampai kelas tiga SD ia hanya punya satu seragam dan satu sepatu.

Sejak saat itu, ia bertekad untuk mulai mencari uang sendiri. Warsito kemudian bekerja sebagai kuli angkut genting. Kerjanya mengangkut genting ke tempat pembakaran.

Upahnya lumayan. Hasilnya bisa ia simpan untuk mengganti seragam dan sepatu yang sudah rusak.

Sejak kecil, Warsito hanya makan nasi aking, yakni nasi kering yang dimasak kembali. Hampir setiap hari ia makan nasi aking dengan minyak jelantah. Kendati begitu, prestasi sekolahnya selalu gemilang. Karena itu, kakak Warsito yang sudah bekerja di Jakarta berniat menyekolahkan dia ke SMP.

Jiwa wirausaha Warsito makin terlihat saat duduk di bangku SMP. Saat liburan sekolah, ia pergi ke tempat kakaknya di Jakarta dan menyambi jadi tukang las.

Lulus dari SMP, Warsito berusaha menjadi guru dengan mengikuti tes masuk sekolah pendidikan guru (SPG). Hasilnya, ia diterima di SPG.

Sedangkan untuk membayar SPP sebesar Rp 2.500 per bulan, ia menyisihkan sebagian dari uang kiriman kakaknya sejumlah Rp 5.000 per bulan.

Karena tak cukup, Warsito masuk klub sastra dan menulis artikel-artikel untuk majalah dan radio. Honornya lumayan untuk menambah uang saku.

Tak disangka, pada tahun 1991, SPG tempat sekolah Warsito ditutup. Ia pun tak bisa mewujudkan mimpi jadi guru.

Warsito akhirnya merantau ke Jakarta dan menjadi tukang las membantu kakaknya.
Di sinilah peluang usaha Warsito mulai terbuka. Karena, ia sering bertemu dengan beberapa pengusaha dan belajar soal marketing.

Melihat keinginan kuat Warsito untuk maju, seorang seorang kitchen set mengajaknya pindah kerja. Tapi, ia tak langsung bekerja dan harus menunggu selama sebulan. Padahal, kala itu ia harus menghi-dupi istri dan anaknya. Alhasil, menjadi kuli bangunan pun sempat ia jalani.


Terinspirasi pameran

Setelah bekerja sebagai marketing untuk perusahaan kitchen set selama delapan bulan, Warsito memutuskan berhenti.

Pada 1996, Warsito ditawari membuat kitchen set untuk dapur restoran oleh klien di tempat bekerjanya dulu. Beruntung, ia sempat belajar otodidak cara membuat kitchen set. Tak disangka, si pemesan senang dengan desainnya.

Malah, ia diberi pinjaman modal awal untuk memulai usaha kecil-kecilan. Dari situlah bisnis Warsito berkembang. Ia lantas mendirikan perusahaan sendiri yang diberi nama PT Biru Sejahtera Abadi (BSA).

Lewat BSA, ia jatuh bangun menjemput order desain dapur restoran, hotel, dan apartemen di Jakarta. Beruntung, beberapa klien bisa ia gaet.

Pada 2006, saat kebetulan datang ke pameran waralaba, ia terinspirasi membuat gerobak untuk usaha waralaba. Ia merasa bisa membuat gerobak dengan desain yang lebih menarik dari yang dipakai waralaba.

Pengalaman membuat kitchen set memberinya ide brilian dalam membuat desain gerobak yang unik. Setelah membuat satu contoh gerobak, ia menawarkan ke waralaba.

Sebagai perkenalan, dia mematok gerobak dengan harga yang sangat murah, namun dengan kualitas istimewa. Beberapa waralaba pun kepincut dan akhirnya memesan.

Setelah yakin gerobaknya disukai perusahaan waralaba, Warsito mulai menaikkan harga jual. Meski begitu, kian banyak waralaba yang telanjur suka pada desain gerobak dan memesan gerobak buatannya.

Kini, Warsito mampu memproduksi 20 hingga 80 gerobak saban bulan. Harga satu gerobak berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 4 juta. Dalam sebulan, kini ia bisa mengantongi omzet hingga Rp 300 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×