kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra songket tiga generasi ogan ilir (1)


Senin, 14 Maret 2011 / 14:09 WIB
Sentra songket tiga generasi ogan ilir (1)
ILUSTRASI. A man wearing a protective face mask walks past a globe, after the government decree to close cinemas, schools and urge people to work from home and not stand closer than one metre to each other, in Milan, Italy, March 5, 2020. REUTERS/Guglielmo Mangiapan


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Tri Adi

Muara Penimbung terkenal akan songket palembang bikinan tangan terampil para perempuan di desa itu. Kini ada lebih dari 100 perajin songket aktif menenun songket di daerah ini. Satu perajin bisa mendapatkan omzet Rp 15 juta per bulan dari penjualan songket. Pembeli songketnya juga datang dari negara tetangga.

Pakaian adat yang berbeda-beda di setiap wilayah di Indonesia membuat negara beratus suku ini memiliki banyak sekali kain tradisional. Songket palembang merupakan salah satu kain tradisional yang hingga kini masih terus bertahan.

Di Palembang, kain songket biasanya diberikan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan sebagai bentuk penghargaan dalam aspek sosial pada waktu itu. Sekarang, keberadaan songket tak lagi tergantung pada kedudukan atau tingkat sosial seseorang. Mereka yang mampu membeli songket, boleh memakai motif yang mereka sukai. Songket juga bisa menjadi hadiah kepada orang yang dihormati.

Salah satu ciri khas songket palembang adalah penggunaan benang emas, benang perak, sutra, wol, dan nilon. Menurut Okke Hatta Rajasa, Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI), songket Palembang memiliki lebih dari 500 motif. "Ini membuktikan tingginya kreativitas anak bangsa dan harus dilestarikan," ujarnya. Paduan berbagai benang itu membuat songket palembang terkesan rumit, indah, dan agung.

Salah satu sentra kain tenun songket palembang terletak di Desa Muara Penimbung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Di desa ini terdapat sekitar 100 perajin dan 38 rumah yang menjual kain songket hasil tenunan mereka sendiri.

Mardina, salah seorang pengusaha songket Desa Muara Penimbung, mengatakan, kerajinan tenun songket di desanya sudah ada sejak tiga generasi lalu. Jadi, kerajinan tenun songket sudah mendarah daging bagi para perempuan di desanya.

Mardina kini memiliki enam pegawai yang berasal dari sekitar rumahnya. "Rata-rata hampir semua wanita di sini bisa menenun," ujarnya. Saat ini, Mardina melayani permintaan sedikitnya 10 hingga 15 helai kain songket dengan omzet sekitar Rp 15 juta per bulan. Ia menjual produk songket Mardina mulai dari Rp 900.000 sampai Rp 1,9 juta per lembar.

Para pembelinya berasal dari Palembang, Jawa, dan Sulawesi. Sejak tahun 2010 lalu, banyak juga pembeli yang berasal dari Malaysia dan Singapura datang ke sentra songket ini.

Yani yang sudah menenun songket sejak 10 tahun lalu, mempelajari teknik menenun langsung dari orang tuanya. "Kegiatan senggang kami isi dengan belajar menenun," ujar Yani.

Dengan bantuan tiga orang tenaga kerja, Yani kini bisa menjual sedikitnya 10 songket per bulan dengan omzet Rp 12 juta. Mardina dan Yani mengatakan, menenun songket bukan hanya kerajinan tangan biasa. Menenun songket sudah menjadi bagian dari hidup para wanita di Muara Penimbung.

Rata-rata para perajin songket mendapatkan upah Rp 600.000 hingga Rp 800.000 per kain songket. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu kain adalah antara satu hingga dua pekan. Hal tersebut bergantung pada tingkat kesulitan motif dan tingkat kesibukan dari si perajin.

Menurut Mardina, menenun kain songket harus dalam keadaan riang gembira, karena membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi. "Kalau kita mengerjakan ketika sedang banyak pikiran, biasanya hasilnya tidak rapi," ujarnya.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×