kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45925,51   -5,84   -0.63%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terkendala pasar, modal hingga tenaga


Rabu, 18 Maret 2015 / 12:15 WIB
Terkendala pasar, modal hingga tenaga


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Hendra Gunawan

Jumlah perajin sarung tenun di Kelurahan Watusampu, Donggala, Sulawesi Tengah terus menyusut dari tahun ke tahun. Ada banyak faktor yang membuat warga kelurahan ini, terutama kaum wanitanya meninggalkan kerajinan tenun ini.

Beberapa di antaranya adalah kendala pemasaran. Ini terjadi lantaran para perajin lebih banyak mengandalakan pemasaran dari mulut ke mulut. Hampir tidak perajin yang memesarkan produknya lewat internet.

Alhasil, kendati sudah berlangsung turun temurun, sentra tenun di daerah ini relatif sepi dari kunjungan wisatawan, baik asing maupun lokal.

Lilik, salah satu produsen sarung tenun di Watusampu mengaku, hanya memasarkan produk dari mulut ke mulut. Alhasil, konsumennya pun sebatas di kalangan teman-teman dan instansi pemerintah setempat.

Agar penjualan bisa maksimal, ia berharap, pemerintah bersedia membuatkan pusat penjualan tenun di Kota Palu. “Kalau ada pusat penjualan itu, omzet kami bisa meningkat,” katanya kepada KONTAN.

Saat KONTAN mengunjungi sentra tenun ini pada September 2014 lalu, memang tidak tampak satu pun pembeli yang mengunjungi Watusampu. Hanya nampak kesibukan para wanita membuat kain tenun di rumah-rumah.

Selain kendala pemasaran, para perajian juga kesulitan mencari karyawan atau tenaga penenun. Jaena, salah satu produsen sarung tenun di Watusampu bilang,  rata-rata anak muda lebih memilih bekerja di kota atau menjadi perantau. Praktis, hanya orang tua saja yang masih menekuni profesi sebagai penenun.

Sayangnya, tidak ada usaha apapun yang dilakukan untuk menambah jumlah penenun di sana. Mereka khawatir, tanpa generasi penerus, maka usaha ini bisa punah.

Susahnya memperbaiki Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)  juga menjadi kendala. “Tidak ada orang yang pekerjaannya memperbaiki alat ini, makanya kalau rusak kami ya harus memperbaiki sendiri,” katanya.

Sementara memperbaiki ATBM itu butuh waktu lama dan tidak bisa cepat. Jaena mengaku, bila salah satu mesinnya rusak, jumlah produksinya pasti menurun.Jaena sendiri memiliki empat mesin ATBM yang dia gunakan bersama para tetangganya.

Keterbatasan modal juga menjadi masalah besar bagi mereka. Kendala ini membuat banyak perajin susah berkembang. Persoalan modal ini penting karena harga bahan baku benang cukup mahal, sekitar Rp 3 juta per bantal. “Karena kendala modal kami tidak bisa membeli bahan baku dalam jumlah banyak,” kata Jaena.

Untuk menyiasati permodalan ini, para perajin biasanya meminta ongkos pembuatan kain tenun di awal. Uang itu dipakai buat  membeli bahan baku benang dan lainnya. Kadang mereka juga meminjam modal kepada para tengkulak. (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×