Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
Menjadi produsen jilbab sejak tahun 2000, Abdul Ropik sukses meraup omzet tebal dari ceruk usaha ini. Di bawah bendera usaha Piqna Production, ia meraup omzet hingga Rp 70 juta per bulan.
Sebagai pebisnis, pria asal Desa Panembong, Garut, Jawa Barat ini tidak hanya memikirkan keuntungan. Melalui usahanya itu, ia juga ingin meningkatkan taraf hidup masyarakat di kampungnya.
Apalagi, banyak warga di kampungnya yang selama ini hidup serba kekurangan, karena tidak memiliki pekerjaan tetap.
Terdorong keinginan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut, Abdul mengajak warga untuk terlibat di dalam bisnis yang dikelolanya. "Mayoritas warga saya libatkan di dalam aktivitas produksi jilbab," kata Abdul.
Kini, tidak kurang dari 50 warga yang terlibat di dalam usaha pembuatan jilbab tersebut. Dengan bekerja kepada Abdul, mereka memiliki pekerjaan tetap yang bisa menjadi penopang hidup keluarga.
Awalnya, belum banyak warga yang dilibatkan dalam usaha pembuatan jilbab ini. "Ketika baru pertama membuka usahanya ini, saya hanya merekrut beberapa orang," kata Abdul.
Namun seiring perkembangan usaha yang kian pesat, ia pun membutuhkan tenaga yang lebih banyak. Maka, Abdul memilih memberdayakan masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Warga dilibatkan mulai pemotongan bahan, penjahitan hingga pengepakan. Bagi warga yang belum memiliki keterampilan menjahit, ia memberikan pelatihan sampai warga benar-benar menguasai keterampilan menjahit sesuai standar yang diinginkan Abdul.
Mayoritas warga mengerjakan tahap-tahap produksi jilbab di rumah masing-masing. Namun, seluruh keperluan produksi, seperti kain, benang, dan mesin jahit, sudah dipenuhi semua oleh Abdul. "Warga boleh membawa ke rumah masing-masing," katanya.
Sebagian kecil warga memang ada yang melakukan produksi di bengkel kerja milik Abdul. Namun, besaran upah yang mereka terima berbeda dengan warga yang produksi di rumah. Soalnya, mereka yang bekerja di bengkel milik Abdul juga mendapat fasilitas makan pagi dan makan siang.
Selain itu, ada juga fasilitas makanan ringan dan rokok selama bekerja. Makanya, upah yang mereka dapat lebih kecil dari mereka yang produksi di rumah sendiri. "Mereka yang kerja di rumah menanggung ongkos produksi sendiri, seperti makan dan listrik," ujarnya.
Menurut Abdul, rata-rata warga bisa menghasilkan sebanyak satu sampai tiga kodi jilbab per hari. Kalau bahan yang dikerjakan rumit, biasanya mereka hanya bisa mengerjakan satu sampai dua kodi.
Untuk warga yang produksi di rumah sendiri, hasil kerjanya dihargai Rp 30.000 per kodi. Sementara yang bekerja di bengkel milik Abdul, nilainya di bawah itu. Oleh Abdul, jilbab tersebut dijual Rp 300.000 per kodi.
Ke depan, ia ingin melibatkan lebih banyak warga. Hal itu sejalan dengan rencananya menggenjot produksi jilbab yang saat ini berjumlah 200 kodi per bulan.
Untuk mendukung rencananya itu, ia akan telah menjajaki beberapa daerah yang belum pernah dirambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News