kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Meraih lembaran fulus dari beragam warna batik gedog


Jumat, 01 Juli 2011 / 14:51 WIB
Meraih lembaran fulus dari beragam warna batik gedog
ILUSTRASI. Likuiditas emiten konstruksi ketat pada 2020 karena minimnya kontrak baru dan penurunan pendapatan.


Reporter: Gloria Natalia | Editor: Tri Adi

Membatik tidak hanya dilakukan di Pekalongan, Solo, Cirebon, Madura, atau Yogyakarta saja. Di Tuban, Jawa Timur, aktivitas membatik dilakukan oleh kaum perempuan. Tak hanya di pasar lokal, batik tuban yang juga dikenal sebagai batik gedog itu diminati turis mancanegara. Salah satu pengusaha batik tuban mendulang omzet Rp 300 juta saban bulan.

Batik termasuk salah satu karya kebudayaan asli Indonesia yang sudah diakui oleh dunia. Selain Pekalongan, Solo, Cirebon, Yogyakarta, Madura, dan Garut, batik juga dikembangkan oleh masyarakat di pesisir utara Jawa. Salah satunya di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Membatik menjadi aktivitas harian bagi kaum hawa di sana.

Usaha batik milik Mohammad Sholeh di Desa Jarurejo, Kecamatan Kerek, Tuban semisal. Usaha milik Sholeh itu mempekerjakan 150 orang pembatik yang seluruhnya perempuan. Mereka terlibat dalam proses produksi, pewarnaan kain hingga menjaga toko batik. "Pernah ada laki-laki yang membatik, cuma saya pindahkan karena dia sendirian," ujar pria berusia 53 tahun ini diiringi dengan tawa kecil.

Sholeh mengaku sangat menghargai profesi para pembatik yang kebanyakan perempuan itu. Apalagi, dari para pembatik itu, Sholeh bisa menikmati rezeki dari hasil penjualan batik hingga kini. Berkat mereka pula, ide membuka usaha batik khas Tuban tercetus dalam angannya.

Tahun 1987 menjadi tonggak awal Sholeh berbisnis batik. Pertemuannya dengan perempuan Tuban yang tertipu bisnis batik dengan calon pembeli melecutkan semangatnya berbisnis batik. Ceritanya, perempuan yang punya keahlian membatik ini telah menyelesaikan 30 lembar batik. Si calon pembeli secara tiba-tiba membatalkan transaksi pembelian.

Tidak tega melihat kesedihan pembatik itu, Sholeh kemudian menawarkan diri untuk menjualkan batik tersebut. Hanya dalam sehari saja, 30 potong batik tersebut ludes dan Sholeh mendapatkan keuntungan Rp 1.000 per batik. "Saat saya serahkan hasil penjualan, pembatik itu memberikan tambahan Rp 1.000 lagi per batik buat saya," kata Sholeh mengenang.

Dari peristiwa itulah, Sholeh menjadi tahu kalau keuntungan menjual batik bisa berlipat-lipat dan melebihi gaji profesi guru sekolah dasar yang ia jalani waktu itu. Saat itu, gaji seorang guru hanya Rp 24.000 per bulan, sementara, keuntungan dari menjual batik dalam sehari bisa mencapai Rp 60.000.

Tidak berapa lama semenjak peristiwa itu, Sholeh mendapat mandat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tuban untuk mengajar warga agar melek membaca dan berhitung. Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, Sholeh fokus mengajaar membaca dan berhitung kepada para pembatik di Jarurejo.

Saat program usai, Sholeh juga mendapatkan mitra untuk meneruskan rencana menjual batik. Langkah pertama yang Sholeh lakukan adalah membuat kelompok pembatik dulu. "Setelah terbentuk, saya kemudian menjadi pemasaran karya pembatik itu selama empat tahun," terang Sholeh.

Kerja keras itu ternyata berbuah manis. Di tahun 1991, batik jualan Sholeh kian laris. Bersama sang istri, Sholeh memutuskan belajar membatik agar bisa menguasai teknik membatik sekaligus bisa mengembangkan desain. Sekarang, Sholeh sudah menguasai seni memodifikasi motif batik.

Di pasaran, batik tuban juga terkenal dengan nama batik gedog. Menurut Sholeh, nama itu diambil dari bunyi pukulan alat tenun. Batik gedog memiliki beragam motif seperti; lokcan, uget-uget, kembang waluh, kates gantung, dan selendang selimun. Dari sisi pewarnaan, batik Tuban cenderung berwarna gelap dan didominasi warna cokelat. Belakangan, batik gedog memiliki beragam warna, dari warna gelap hingga yang cerah.

Satu lembar batik tulis gedog biasanya dikerjakan selama 7 hari, termasuk proses pewarnaan. Jika batik itu dijual dalam bentuk lembaran, harganya berkisar Rp 60.000 hingga Rp 300.000 per lembar. Harga termurah untuk batik ukuran 2 m x 1,5 m. Sedang harga termahal untuk batik ukuran 2.8 m x 0.9 m dijual Rp 300.000.

Dalam sebulan, Sholeh memproduksi 2.000 lembar batik tulis yang didistribusikan ke Jakarta, Kalimantan, Sumatra, Cirebon, dan hampir semua kabupaten di Jawa Timur. Selain memproduksi lembaran batik, Sholeh juga memproduksi baju kaus batik. Baju kaus batik tersebut dijual Rp 75.000 per kaus dengan tujuan pasarnya adalah Pulau Dewata, Bali.

Tiap bulan, Sholeh mengirim 1.000 kaus batik ke Bali. Oleh pembeli, kaus batik itu diekspor oleh pembeli ke berbagai negara. "Omzet saya bisa mencapai Rp 300 juta per bulan," terang Sholeh yang sudah memproduksi 6.000 kaus tiap bulan itu.

Sholeh mengaku sering mendapat pesanan dari pembeli asing. Namun, saat ini, ia belum bisa meladeni permintaan karena kehabisan waktu. Selain berbisnis batik, Sholeh tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Sholeh berharap, kelak Desa Jarurejo menjadi desa wisata, khususnya batik. Maklum, di sana, terdapat banyak para pembatik. Sholeh menghitung, ada 18 UKM yang berkaitan dengan batik gedog yang di sekitar Desa Jarurejo.

Selain Sholeh, ada juga Bujuanto yang juga membangun usaha produksi batik gedog. Ia memulai usaha sejak tahun 1989.

Usaha yang berlokasi di Jalan Raya Kerek-Margorejo, Tuban, kini mempekerjakan 30 orang pembatik yang menghasilkan batik bermotif kates gantung. Batik tersebut dijual seharga Rp 80.000–Rp 150.000 per lembar.

Menurut Bujuanto, perbedaan harga batik terjadi karena ada perbedaan bahan kain untuk batik. Jika bahan kain bagus, maka harga batik yang sudah jadi akan ikut terdongkrak. Sebaliknya kain dengan kualitas jelek akan menghasilkan batik dengan harga murah, yakni antara Rp 40.000–Rp 50.000 per lembar. Saat ini, Bujuanto mampu memproduksi 600 lembar batik tulis gedog.

Selain menjual di daerah Tuban, Bujuanto juga menjual batik tulis itu ke Jakarta, Sumatra, dan Kalimantan. Namun, pembeli terbanyak adalah pedagang batik grosir dan juga turis mancanegara. "Turis dari Australia, China, dan Jepang menyukai warna kalem motif kuno, mereka tidak motif cerah," jelas Bujuanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×