Reporter: Fahriyadi | Editor: Tri Adi
Selain sebagai alat musik tradisional yang kerap digunakan dalam pelbagai acara keagamaan, rebana juga menjadi aksesori dan suvenir. Permintaan rebana selalu mengalir dari pasar lokal maupun ekspor. Perajin rebana di Bantul pun mampu meraup omzet hingga Rp 30 juta tiap bulan.
Tak hanya berfungsi sebagai alat musik, rebana juga mempunyai nilai seni tinggi. Tak heran, kerajinan ini tumbuh subur di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Lantaran bisnis kulit yang meredup, Wachidussalam, pemilik Kunia Handicraft, memulai usaha pembuatan rebana sejak 2001 di Bantul, Yogyakarta. "Mulanya coba-coba, kini malah jadi mata pencaharian," ungkapnya.
Menurut pria 50 tahun ini, usaha kerajinan rebana sangat menjanjikan. Pasalnya, banyak permintaan rebana untuk aksesori dan suvenir. Tiap bulan, Wachid pun memproduksi hingga 500 rebana, baik berukuran besar maupun kecil.
Ia memasarkan rebananya di pasar lokal dan ekspor. "Sekitar 40-50 rebana dijual ke pasar lokal lewat jalur pemasaran ritel dan online, sisanya dialokasikan untuk pasar ekspor," ujarnya.
Wachidussalam tak menjual sendiri rebananya di pasar ekspor. Ia bekerjasama dengan Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI), yang menjual rebana ke negara-negara di Timur Tengah, Amerika Serikat, dan Kanada. "Tiap bulannya APIKRI bisa menjual 1.500-2.000 rebana dari beberapa perajin rebana yang ada di Bantul," ujar dia.
Dengan harga jual rebana rata-rata Rp 60.000, dalam sebulan Wachidussalam bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp 30 juta.
Hanya saja, Wahchidussalam mengaku kerap menghadapi masalah bahan baku. "Bahan baku yang tersedia tidak sesuai dengan kapasitas produksi," katanya.
Hal itu sangat terasa ketika APIKRI menambah jumlah pesanan. Meskipun memiliki 10 karyawan, menjadi tak berarti ketika stok kayu tak memadai.
Walau begitu, Wachidussalam tetap optimistis usahanya akan terus berkembang. Ia pun terus berinovasi dengan menampilkan rebana bermotif batik. "Semoga rebana batik ini juga diminati oleh pasar," katanya.
Selain di Bantul, kerajinan rebana juga terdapat di Jepara. Abdul Azis, pemilik Brakjaya, yang awalnya berbisnis furnitur menekuni usaha pembuatan rebana ini sejak 2008. Setelah melihat peluang usaha pembuatan rebana ini, ia pun mencoba membuat rebana ukuran asli Jepara.
Berbeda dengan Wachid yang menggandeng APIKRI, Azis mempromosikan rebananya lewat internet. Selain itu, ia juga sering menitipkan rebananya kepada kerabat yang bepergian ke luar negeri.
Lantaran masih baru, dalam sebulan, Azis hanya mampu menjual sekitar 10-20 rebana. Ia menawarkan harga jual Rp 320.000 tiap rebana. "Omzet masih di bawah
Rp 10 juta," ucapnya.
Tapi, Aziz bilang, keuntungan usaha ini cukup menggiurkan. Tak heran, di tempat tinggalnya, banyak terdapat perajin rebana. "Rata-rata omzet mereka cukup besar," katanya, yang tahun lalu dapat order 700 rebana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News