kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,19   -7,17   -0.77%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jonny, calon guru yang sukses berbisnis perkakas


Jumat, 30 Mei 2014 / 15:54 WIB
Jonny, calon guru yang sukses berbisnis perkakas
ILUSTRASI. Teh daun mangga efektif menurunkan asam urat tinggi.


Reporter: J. Ani Kristanti, Melati Amaya Dori | Editor: Tri Adi

Tak sedikit pengusaha lahir lantaran ketidakberdayaan menjalani rutinitas pekerjaan sebelumnya, yang melelahkan. Kondisi ini pun memaksa mereka terus berpikir kreatif, hingga mampu meraih sukses dengan usaha sendiri.

Perjalanan inilah yang terjadi pada Jonny Sinaga. Keletihan menjadi karyawan, jenuh hingga deraan penyakit, justru menuntun anak petani dari Pematang Siantar, Sumatra Utara, ini menjadi seorang pengusaha.

Lantaran sakit, Jonny yang sudah malang melintang di sejumlah perusahaan konstruksi terpaksa berhenti bekerja. “Waktu itu, saya terkena migrain akut. Jadi, bangun tidur seperti hilang ingatan, pegang gelas saja bisa jatuh,” kenang dia. Perjalanan Bogor–Jakarta tiap hari dan pekerjaan yang menuntutnya lembur hingga malam, pada akhirnya, berdampak pada kesehatannya.

Pada 1999, Jonny pun harus istirahat setahun. Namun, nyatanya, Jonny tak bisa berdiam diri begitu saja di rumah. Otaknya terus berputar. Apalagi, saat melihat tak ada perbaikan setelah setengah tahun berlalu.

Dia pun memutuskan kembali kerja. Tapi, tidak di Jakarta. Dia takut kejadian sama terulang kembali. Jonny terpikir menjual produk yang dihasilkan di dekat rumahnya, di Bogor. Lantas, ayah empat putri ini mulai menjual sarung tangan dari sekitar Bogor.

Melalui penjualan online, dia mengincar pabrik-pabrik yang membutuhkan sarung tangan karet sebagai perangkat keselamatan kerja. Sayang, bisnis ini tak segampang bayangannya. “Pesaingnya banyak, jadi hanya bisa untung tipis. Duit habis untuk muter-muter beli bensin,” kata Jonny yang waktu itu masih bekerja dari rumahnya.

Dari situ, pria lulusan IKIP Medan ini berpikir untuk mencari bisnis yang berbeda. Jonny pun mendapatkan ide untuk menjual ban pejal (solid tyre).  Dia mengimpor jenis ban yang banyak dipakai untuk traktor serta forklift itu dari India. Sementara itu, bisnis sarung tangan masih tetap dia jalankan. Hanya, di kemudian hari, Jonny kembali menemui kendala. “Jual ban, saya harus kirim dan memasangnya. Keuntungan menjadi lumayan terkuras juga,” kenang dia.

Dari kebiasaannya mengunjungi pabrik-pabrik, yang merupakan konsumennya, Jonny menyadari celah bisnis baru yang menggiurkan. Yaitu: menjual instrumen atau alat ukur laboratorium. Tidak seperti ban pejal yang makan tempat, alat ukur sangat mini, kendati harganya mahal. “Untungnya juga besar,” kata Jonny, yang waktu itu sudah mempekerjakan seorang karyawan.


Harga murah

Lantas, Jonny mulai menjual alat ukur tingkat kekeringan kayu (wood moisture). Awalnya, Jonny membeli alat ukur itu dan dijual kembali untuk kayu bahan piano. Tapi, setelah mengetahui cara kerjanya, Jonny yang punya pengalaman merancang bangun mesin saat bekerja tergerak untuk membuat instrumen itu sendiri. “Dengan memproduksi sendiri, saya bisa mendapat untung lebih besar,” tutur dia. Namun, dia tetap menyodorkan pilihan ke konsumen: mau lokal atau impor.

Dari instrumen kayu, Jonny mulai menjual alat-alat ukur lain, seperti alat ukur pH tanah dan alat survei. Tak hanya instrumen, permintaan pun terus melebar dari konsumennya. Misalnya, konsumen instrumen pH tanah juga membutuhkan mesin pupuk kompos, mesin pengolah hasil pertanian.

Tentu, Jonny tak melewatkan tiap kesempatan bisnis. Dia terus menyediakan apa yang dibutuhkan pelanggannya. Harga murah menjadi senjatanya. Biasanya, dia beli satu jenis mesin untuk dipelajari, lalu dibuat sendiri di bengkelnya. “Tapi, tetap saya utamakan kualitas dan servis yang baik,”  ujar dia.

Kepiawaiannya berbisnis pun terus terasah. Tak hanya fokus pada bisnis yang telah berjalan, lewat kejelian Jonny, pria yang Maret nanti berusia 47 tahun ini juga merambah penjualan berbagai perkakas lain. Pada 2006, dia mendirikan perusahaan bernama Karya Mitra.

Gempa Aceh dan Yogyakarta pun membuat bisnisnya semakin moncer karena tingkat permintaan yang melonjak drastis. “Saya menjual macam-macam, dari perahu karet sampai mesin fogging,” kata dia.

Pada 2007, Jonny membuka gerai di Glodok untuk mempermudah pembelian dan pengiriman barang. Sementara itu, gerainya dikelola oleh karyawan, dia aktif memasarkan lewat dunia maya dari Bogor.  

Bisnisnya pun terus menggurita. Kini, dia mempunyai enam divisi, seperti divisi pertanian, pertukangan, perangkat safety pabrik, dan lainnya. Selain Bogor dan Glodok, Jonny juga membuka kantor cabang di Sentul dan Surabaya.

Berawal dari seorang karyawan, kini sudah ada 60 orang yang bernaung di bawah bendera Karya Mitra. Tahun ini, Jonny juga akan membuka kantor baru di Singapura karena banyaknya permintaan yang datang dari luar negeri.               

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×