kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Melekatkan laba dengan lem ramah lingkungan


Kamis, 06 Januari 2011 / 14:23 WIB
Melekatkan laba dengan lem ramah lingkungan


Reporter: Rivi Yulianti | Editor: Tri Adi

Rivi Yulianti

Melekatkan laba lem ramah lingkungan

Lem ternyata juga menyumbang zat yang dapat merusak lingkungan. Termasuk membawa penyakit kanker bagi manusia. Karena itu, belakangan ini hadir lem ramah lingkungan. Contohnya, lem buatan PT Dynea Indria dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Tahukah Anda, kebanyakan lem yang diproduksi selama ini berbasis solvent (solvent based) yang dapat merusak lingkungan. Solvent adalah sintesis kimia yang berbahan dasar minyak bumi. Bahan ini selain mudah terbakar, juga merupakan karsinogen alias zat yang dapat memicu kanker.

Berangkat dari fakta tersebut, PT Dynea Indria kemudian meluncurkan lem Fox seri Green Tack sejak 2010 lalu. Sugiarto, Customer Relation Manager Dynea Indria, menuturkan, perekat buatan perusahaannya itu memang bertujuan menyelamatkan lingkungan termasuk manusia. "Kami berupaya meminimalisir risiko kebakaran dan penyakit kanker akibat penggunaan solvent," ungkapnya.

Dia mengklaim, Fox Green Tack tidak mengandung solvent, melainkan berbasis air (water based). "Air kan tidak mencemari lingkungan, tidak merusak lingkungan, tidak berbau tajam, dan lebih mudah terurai," kata Sugiarto.

Meski begitu, Sugiarto berani menjamin daya rekat lem water based sama dengan lem solvent based. Bahkan, imbuhnya, Fox adalah pelopornya.

Lem ramah lingkungan itu dapat dipakai untuk mebel atau kayu, alas kaki, dan kasur. Produk ini dapat dikategorikan sebagai lem lateks. "Pangsa pasar terbesar untuk perusahaan matras spring bed, karena kasur merupakan benda yang berisiko terhadap kesehatan, menempel dan terhirup selama berjam-jam saat orang tidur di atasnya," ungkap Sugiarto.

Harga pabrik untuk Fox Green Tack sebesar US$ 3,5 per kg. Untuk mendistribusinya, Dynea Indria menunjuk PT Ronadamar Sejahtera. Martin, Sales Technician Ronadamar Sejahtera, mengatakan, harga jual ke konsumen menjadi US$ 7,6 per kg. "Memang harganya lebih mahal sekitar 15% dibandingkan dengan lem solvent based," ujar Martin.

Namun, Martin mengungkapkan, pembelinya masih terbatas pada perusahaan-perusahaan yang sadar lingkungan saja. "Banyak orang yang belum aware dengan bahaya lem solvent based," imbuhnya.

Meskipun pangsa pasarnya masih terbatas, omzet penjualan lem ini ternyata sangat memuaskan. Martin bilang, dalam sebulan rata-rata perusahaannya dapat merarup pendapatan Rp 4 miliar-Rp 5 miliar dari penjualan lem ini.

Tapi, lem ramah lingkungan tidak hanya berbasis air saja. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat lem dari bahan dasar limbah kulit kayu Akasia.

Bambang Subiyanto, Kepala Pusat Inovasi LIPI, menjelaskan, ide membuat lem ramah lingkungan itu muncul saat mereka melihat banyak limbah kulit kayu akasia yang terbuang percuma.

Padahal, sebuah pabrik bubur kertas rata-rata bisa menghasilkan 500 ton limbah per tahun. Lem temuan LIPI pada 2010 tersebut bisa dipakai untuk kayu lapis (plywood) yakni kayu yang diiris menjadi lembaran yang dilekatkan dengan lem.

Dalam proses perekatan kayu lapis biasanya digunakan dua jenis lem, UF (Urea Formaldehid) dan VF (Venol Formaldehid). Namun yang lazim dipakai adalah UF, yang berbahan baku sintetis dari limbah petroleum. Tapi, lem UF sangat berbahaya bagi lingkungan karena memancarkan gas formalin.

Nah, limbah kulit kayu akasia mengandung zat tannin yang merupakan perekat alami. Zat inilah yang berfungsi menetralisir UF sampai 60%. Dengan demikian, selain mengurangi efek samping gas formalin, biaya bahan baku juga dapat ditekan hingga 30%.

Dengan pengurangan kadar UF dalam kayu lapis, maka produk tersebut dapat memenuhi persyaratan Japan Industrial Standard (JIS A 5098) untuk kategori interior I dan II. Sehingga, paling tidak layak diekspor ke Negeri Matahari Terbit.

Bambang menjelaskan, proses pembuatan lem temuan LIPI ini juga cukup sederhana. Pertama-tama, limbah kulit kayu akasia digiling sampai menjadi serbuk yang halus. Kemudian UF cair dicampur dengan serbuk kayu tadi dengan kadar 60%. "Setelah diuji coba, daya rekatnya ternyata tetap sama dengan lem UF biasa," ujar Bambang.

Meski sudah dipatenkan, LIPI belum mengomersialkan lem tersebut. Rencananya, komersialisasi baru pertengahan 2011 ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×