Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi
Pengetahuan yang minim perihal cara beternak kelinci membuat kelinci rentan diserang penyakit. Tak jarang, peternak di Desa Sukoloyo, Lembang, Bandung, rugi karena kelinci mereka mati mendadak. Peternak pun masih menunggu datangnya bantuan pemerintah.
Meskipun keuntungan beternak kelinci itu minim, peternak kelinci di Sukoloyo, Lembang, Bandung, Jawa Barat, tetap setia menangkar hewan bertelinga panjang itu.
Masalahnya, para peternak yang tinggal di kawasan yang sering disebut Karmel, karena dekat Gereja Karmel, tak semuanya menguasai cara-cara beternak kelinci yang baik. Apalagi sebagian dari mereka, menjadi peternak kelinci lantaran terpaksa karena tak ada pekerjaan lain.
Mereka juga tidak mengetahui cara membudidayakan kelinci yang efisien dan bisa menguntungkan. "Kami butuh penyuluh yang mau membimbing usaha ini," harap David Dodi Purnomo, peternak kelinci di Sukoloyo.
Namun harapan mendapatkan penyuluh peternakan kelinci itu tak pernah datang. Alhasil, peternak hanya mengandalkan budidaya kelinci dengan cara tradisional. Peternak bahkan tidak mengetahui cara menghitung gizi atau vitamin kelinci yang mereka tangkarkan itu.
Minimnya pengetahuan tentang gizi, vitamin serta kesehatan kelinci itu justru ternak kelinci itu tak produktif. Bahkan, sering ditemukan kasus kelinci yang sakit mendadak atau bahkan mati. "Tahun 2005, saya rugi besar," kenang Narso Suparto, peternak kelinci yang lain.
Narso menceritakan, sedikitnya ada 20 kelinci miliknya pernah ditemukan mati mendadak akibat penyakit. Namun, musibah itu tak membuat Narso patah arang. Ia tetap setia melanjutkan profesinya sebagai peternak kelinci.
Saat ini, yang membuat senang peternak, bila datang pembeli langsung ke kandang atau ke peternak. Sesekali harapan itu memang kesampaian, terutama pembeli dari jemaat Gereja Karmel yang ada di desa Sukoloyo. "Jemaat Gereja Karmel juga ada yang membeli kelinci ke kandang," kata Tri Apriyanto, yang juga peternak kelinci.
Karena membeli eceran, para peternak bisa menjual kelinci itu lebih mahal ketimbang menjual kepada pengepul. Hal serupa juga dilakukan Narso, bahkan ia pernah menjual kelinci jenis anggora senilai Rp 1 juta per ekor. "Pernah juga saya menjual kelinci jenis gibas seharga Rp 800.000 per ekor," kata Narso.
Namun, jemaat gereja itu tidak rutin belanja kelinci kepada para peternak. Beda dengan pedagang pengepul yang rutin belanja kelinci setiap pekan.
Mata rantai perdagangan kelinci itulah yang sejatinya ingin diputus para peternak. Para peternak kelinci di Sukoloyo yakin, bila mereka mampu berjualan langsung ke konsumen, pasti mereka akan mendapatkan harga yang lebih baik. Bukti itu sudah mereka rasakan ketika ada jemaat Gereja Karmel yang membeli kelinci.
Masalahnya, tak ada yang peduli dengan para peternak kelinci tersebut. Hingga kini, harapan untuk menjual kelinci secara mandiri masih berupa angan-angan. "Kalau langsung ke pembeli, keuntungan kami bisa berlebih," terang David.
David bilang, pemerintah pernah berjanji memberikan bantuan modal. Namun, syaratnya, para peternak harus membentuk koperasi atau kelompok usaha. Sayang, setelah dua tahun koperasi dan kelompok usaha berdiri, bantuan yang dijanjikan tak kunjung mengucur. "Janji itu tinggallah janji," keluh David.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News