kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra salak glumut: Pasokan seret, salak kualitas rendah pun berharga tinggi (3


Kamis, 13 Januari 2011 / 10:39 WIB
Sentra salak glumut: Pasokan seret, salak kualitas rendah pun berharga tinggi (3


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Tri Adi

Amuk Gunung Merapi tak hanya menghancurkan mata pencaharian petani salak nglumut di Srumbung, tapi juga membuat pedagang buah ini ketar-ketir. Pasokan yang bakal tersendat mengancam omzet penjualan mereka. Buntutnya, mereka terpaksa mencari stok ke daerah lain.

Salak nglumut menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat Srumbung, Magelang, Jawa Tengah. Selain sebagai petani salak nglumut, banyak juga dari mereka yang mengadu nasib sebagai penjaja buah ini di sejumlah sentra penjualan salak di sepanjang Jalan Magelang-Yogya.

Bambang Sutijo, Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki, misalnya. "Tiap tahun saya minimal menerima hasil dari panen sebesar Rp 100 juta, itu minimal," tegasnya.

Penghasilan ini berasal dari kebun salak nglumutnya yang seluas dua hektare. Saban bulan, ia bisa mengirim satu ton salak ke Lampung dengan harga rata-rata
Rp 5.000 per kilogram.

Selain lokal, salak nglumut juga sudah menembus pasar ekspor, yakni China dan Malaysia. "Mulai ekspor September 2009 lalu, namun sekarang terhenti akibat letusan Gunung Merapi," ungkap Gunadi Eko, Koordinator Penyuluh Pertanian Balai Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BPPK) Kecamatan Srumbung.

Gunadi mengatakan, permintaan ekspor salak nglumut mencapai lima ton dalam sebulan. Jumlah tersebut masih minim, sebab terganjal persyaratan sertifikasi lahan dan buah. "Saat ini, baru satu gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang sudan bisa ekspor salak nglumut," ujarnya.

Di Srumbung, tercatat ada 11.000 petani salak nglumut yang tergabung dalam 17 Gapoktan. Dari 1.628 hektare luas perkebunan salak nglumut, baru 512 hektare yang terdaftar dan 11 hektare yang memiliki sertifikat organik penuh. Sedangkan, 41 hektare lainnya telah memiliki sertifikat Prima Tiga.

Sertifikasi ini untuk mendukung pemasaran salak nglumut, sehingga bisa masuk ke toko modern dan pasar ekspor. "Akibat letusan Gunung Merapi, kemungkinan semua harus dimulai dari awal lagi," sesal Gunadi.

Seharusnya, bulan-bulan ini menjadi pesta bagi petani salak nglumut. Sebab, periode November sampai Januari adalah saat panen raya salak nglumut di Srumbung.

Salak nglumut, menurut Gunadi, telah banyak mengubah taraf kehidupan masyarakat Srumbung. Itu sebabnya, di kecamatan yang berada di lereng Merapi ini, hampir tidak ada lahan tersisa yang tidak ditanami salak nglumut. Bahkan, di pekarangan depan dan samping rumah, semuanya berisi pohon salak.

Hitungan Gunadi, biaya produksi untuk setiap kilogram salak nglumut adalah Rp 1.140. Dibandingkan dengan harga satu kilo salak nglumut di tingkat petani yang rata-rata Rp 5.000 per kilogram, tentu keuntungan yang didekap petani sangat menggiurkan. "Harga sering naik sekitar Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kilogram," kata Bambang.

Salak nglumut juga menghidupi sekitar 42 kios yang ada di sentra penjualan salak di Gremeng, Salam, Magelang. Di sentra ini, Sri Nuryatmi, pemilik kios Barokah, menjual salak pondoh dan salak nglumut. "Sejak letusan Merapi, suplai sangat susah sehingga harga tinggi. Kalaupun ada, kualitasnya jelek," katanya. Saat ini, harga di tingkat pedagang sekitar Rp 5.000 per kilo untuk kualitas rendah.

Walaupun pembeli tetap ada, omzet penjualan pedagang menurun. Sebab, kualitas nglumut yang dijual lebih rendah, dengan rasa yang kurang manis akibat dampak debu vulkanik Merapi. Akhirnya, Sri mengungkapkan, banyak pelanggan membeli salak lebih sedikit dari biasanya. "Berkurang sekitar 30% dari biasanya," katanya.

Di hari biasa, Sri mampu menjual sekitar 30 kilogram salak nglumut setiap hari. Sedangkan, di hari libur, penjualan melonjak menjadi 1-3 kuintal per hari.

Penurunan omzet juga dirasakan Risty, pemilik kios Danang 21. "Jauh banget penurunannya. Barang jelek namun harganya mahal," ujar dia. Untuk menarik minat pembeli, ia harus membersihkan salak-salak yang dijualnya dengan cara disikat agar tampak mengkilap.

Akibat pasokan yang seret bahkan hingga dua tahun mendatang, Sri berencana mendatangkan salak jenis lain dari daerah lain, seperti Sleman, Yogyakarta dan Wonosobo, Jawa Tengah, walau memiliki rasa berbeda dari salak nglumut.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×