Reporter: Rivi Yulianti | Editor: Tri Adi
Sejak tahun 1960, Nagari Pandai Sikek terkenal sebagai sentra kerajinan songket. Kain tenun ini telah menjadi urat nadi perekonomian utama di kampung tersebut. Saat ini, ada sekitar 857 perajin yang semuanya perempuan. Proses pembuatan satu kain bisa mencapai dua bulan. Tak heran harganya sangat mahal.
Songket adalah kain khas Sumatra Barat yang memegang peran penting dalam budaya Minang. Berfungsi sebagai pelengkap pakaian adat untuk disampirkan di bahu. Hampir seluruh pernik baju adat juga memakai ornamen songket. Kain yang juga menjadi barang wajib untuk seserahan pada acara lamaran kini mulai banyak diminati layaknya batik.
Sentra kerajinan songket terbesar di Sumatera Barat terletak di Nagari Pandai Sikek, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar. Kampung yang berada di kaki Gunung Singgalang ini bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 2,5 jam dengan bis atau kendaraan pribadi dari Kota Padang.
Melewati lembah dan pegunungan yang jalan yang berkelok-kelok, perjalanan menuju Pandai Sikek akan terasa menyenangkan. Apalagi, di sepanjang jalur ini banyak tempat wisata alam yang indah seperti lembah Anai yang terkenal dengan keelokan air terjunnya.
Sudah ratusan tahun para perempuan Pandai Sikek menenun songket. Namun, kegiatan tenun sempat terhenti saat pendudukan Jepang akibat kelangkaan bahan baku. Barulah, pada 1960, Wali Nagari saat itu, Ahmad Ramli Dt. Rangkayo Sati menggiatkan kembali aktivitas menenun.
Sejak saat itu, Pandai Sikek terkenal sebagai desa wisata perajin songket. Hampir setiap rumah di kampung ini memiliki bengkel produksi dan toko penjualan sendiri. Songket memang menjadi urat nadi perekonomian utama di Pandai Sikek.
Ilmu tenun didapat secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Uniknya, hanya kaum Hawa saja yang boleh menenun. Jika anak perempuan sudah menginjak usia remaja yakni 12 tahun, ia sudah wajib mulai belajar ilmu tenun songket.
Prosesnya pembuatannya, jangan ditanya, butuh ketelitian dan ketelatenan tingkat tinggi. Bahan baku yang berupa benang emas harus ditenun helai demi helai untuk membentuk motif tertentu. Proses penenunan menggunakan alat tenun sederhana dari kayu.
Sebagai pemisah antar-benang digunakan batang sapu lidi. Jika terjadi kesalahan satu helai saja, kain harus dibongkar lagi. Perajin bisa menyelesaikan kain ukuran 1,5 meter bermotif sederhana dalam waktu 2 bulan.
Tak heran harganya pun selangit. Erma Yulnita, pemilik Satu Karya, menuturkan, ia menjual songket motif sederhana ukuran standar 1,5 meter dengan harga Rp 1,2 juta. Makin rumit motifnya, harga semakin mahal. "Untuk motif yang sangat detail dan rumit bisa mencapai Rp 15 juta per helai," ujarnya.
Basri Anam, pemilik Terang Bulan, menyatakan, harga itu termasuk murah. "Jika sudah sampai Jakarta atau kota lain, harga bisa melambung hingga tiga kali lipatnya," ungkap dia.
Motif songket biasanya diambil dari motif-motif lama peninggalan nenek moyang yang sampai sekarang masih bisa dilihat di bangunan rumah gadang tua atau benda pusaka adat. Ada sekitar 200 jenis motif. Namun yang paling terkenal: Itiak Pulang Patang dan Bungo Tanjung, yang penuh dengan makna filosofi adat Minang.
Motif inilah yang menjadi ciri khas songket Pandai Sikek. Yang memiliki warna-warna terang seperti merah, merah jambu, dan hijau muda. "Yang paling populer warna merah," kata Erma.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News