kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.691.000   12.000   0,71%
  • USD/IDR 16.345   -55,00   -0,34%
  • IDX 6.795   -78,69   -1,14%
  • KOMPAS100 1.010   -16,39   -1,60%
  • LQ45 783   -21,03   -2,62%
  • ISSI 210   0,71   0,34%
  • IDX30 406   -10,51   -2,52%
  • IDXHIDIV20 491   -10,85   -2,16%
  • IDX80 114   -2,41   -2,07%
  • IDXV30 120   -0,32   -0,27%
  • IDXQ30 133   -3,63   -2,65%

Sentra tenun Sukarara: Tenunan terbengkalai saat musim panen (4)


Selasa, 12 April 2011 / 15:23 WIB
Sentra tenun Sukarara: Tenunan terbengkalai saat musim panen (4)
ILUSTRASI. Petugas menunjukkan obat Chloroquine yang akan diserahkan kepada RSPI Sulianti Saroso di Jakarta, Sabtu (21/3/2020). Kementerian BUMN menyerahkan sebanyak 1.000 butir Chloroquine kepada RSPI Sulianti Saroso sebagai simbol bahwa pemerintah bergerak untuk m


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Tri Adi

Para perempuan di Sukarara, Jonggot, Lombok Tengah tidak hanya bekerja sebagai penenun. Mereka pun kadang menjadi buruh tani ketika musim panen dan musim tanam tiba. Ketika itulah para perempuan lebih memilih menjadi buruh tani karena upahnya lebih tinggi dan cepat.

Hampir seluruh penduduk Desa Sukarara, Kecamatan Jonggot, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki mata pencaharian sebagai petani. Para perempuan pun kadang-kadang turun tangan ke sawah menjadi buruh tani, terutama ketika musim panen dan musim tanam tiba.

Mereka lebih memilih menjadi buruh tani dibanding menenun karena mendapatkan penghasilan lebih. Para perempuan mendapat penghasilan mulai dari Rp 100.000 untuk satu produk songket seharga Rp 200.000. Padahal, pengerjaan satu sarung songket memakan waktu satu hingga 1,5 bulan.

Sementara upah menjadi buruh tani bisa Rp 15.000 per hari. Upah ini belum termasuk makan siang yang disediakan pemilik sawah. "Jadi pas panen mereka lebih memilih meninggalkan tenunan," kata Masitah, pemilik toko tenun Tawakal.

Masitah tidak bisa memaksa para perempuan untuk mengerjakan tenun di musim panen atau musim tanam. Jadi, ia hanya mengandalkan stok tenun di masa panen.

Begitu pula Robiah, pemilik Dharma Setya. Ia mengandalkan stok barang untuk penjualan sehari-hari. Di tokonya memang ada banyak stok dan pilihan aneka tenun. Lagi pula, jarang ada pembeli yang memesan motif tertentu, kecuali pembeli yang mencari tenun untuk kebutuhan seragam. "Kebanyakan pembeli memilih stok yang sudah ada," kata Robiah.

Di toko Robiah ada juga beberapa penenun yang tetap menenun meski musim panen. "Ada beberapa juga yang sedang tidak masuk karena sedang panen," kata Nurdin.

Mereka memang karyawan Dharma Setya. Ada sekitar 20 orang karyawan yang menenun, membatik, dan memandu para pengunjung di Dharma Setya. Ada pula karyawan yang membuat mebel berbahan mahoni.
Mebel khas Lombok ini memiliki khas motif cukli. Cukli merupakan motif bentuk segitiga kecil yang dicungkil dan ditutup kembali dengan potongan kerang. Ada juga produk berupa tokek kayu. Tokek kayu biasanya terdapat di rumah-rumah di Lombok sebagai hiasan dinding.

Kebanyakan penenun merupakan perempuan dewasa. Sedangkan pembatik sasambo di Dharma Setya biasanya perempuan muda.

Selain masalah sumber daya manusia, masalah lain yang harus dihadapi para pengusaha tenun Sukarara adalah adanya produk buatan pabrik yang beredar di pasar. "Kami hanya menjual di sini dan tidak menjual ke pasar di luar Sukarara," kata Nurdin. Ia mengatakan banyak tenun tiruan yang beredar yang bukan produk tenun dari Sukarara.

Untuk mempertahankan keberadaan tenun Sukarara, Dharma Setya pun sekalian menjadi semacam koperasi buat para penenun. Karena Sukarara merupakan satu-satunya tempat pembuatan tenun, Dinas Koperasi dan UKM NTB pun turun tangan membina para penenun dan pengusaha tenun desa ini.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×