kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Usaha ritel: Harus sabar dan jeli


Kamis, 14 Februari 2013 / 13:59 WIB
Usaha ritel: Harus sabar dan jeli
ILUSTRASI. Batuk jadi salah satu gejala Covid-19.


Reporter: Melati Amaya Dori | Editor: Tri Adi

Memulai usaha ritel tidak semudah yang dibayangkan. Selain menuntut kejelian membaca pasar, pengusaha ritel juga harus sigap memilih pemasok. Nilai modal yang besar atau pun yang kecil sama-sama memiliki risiko dan kelebihan. Mereka yang bermodal besar, tentu, lebih cepat dikenal.

Sekilas bisnis ritel, alias berdagang eceran, terdengar mudah. Usaha ini cuma membeli barang dalam jumlah besar untuk dijual kembali ke konsumen akhir dalam jumlah satuan. Selama model bisnisnya semacam itu, maka ia akan menyandang nama usaha ritel, tanpa memandang jenis produk yang diperjualbelikan.

Kendati terdengar mudah, kenyataannya memulai usaha ini tidak gampang. "Karena produk yang bisa dibisniskan secara ritel sangat beragam, banyak yang justru bingung mau melangkah ke mana," tutur Konsultan Wirausaha dan Praktisi Wirausaha, A. Khoerussalim Ikhsan.

Jika dilihat dari jenis produknya, usaha ritel bisa dibagi ke dalam dua kelompok produk. Usaha ritel jenis pertama adalah produk kebutuhan sehari-hari atau yang tidak tahan lama, seperti makanan, minuman, kebutuhan mandi dan memasak. Jenis berikutnya adalah produk yang tahan lama seperti untuk sandang (fashion), teknologi, dan informasi (gadget).

Omzet dan margin yang ditawarkan bisnis ritel tentu bergantung pada jenis produk yang dijajakan. Untuk kelompok produk yang tahan lama, margin bisa berkisar 30%-50%, seperti yang dituturkan Alemina Bukit. Omzet pemilik tiga toko tas khusus wanita di Tangerang itu, rata-rata, berkisar Rp 60 juta - Rp 100 juta per bulan.

Pendapatan yang diterima Ananta Dwi Rajasa, pendiri ritel khusus minuman dan peralatan khusus bayi dan balita, lebih tinggi lagi. Pemilik Mini Market Susu Hemat itu, bertutur, usahanya yang telah berumur tahunan itu mencetak omzet sekitar Rp 300 juta - Rp 400 juta per bulan. Ia hanya menyebut marginnya lumayan, kendati di bawah 40%.

Jika tertarik merintis usaha ritel, sebaiknya, Anda melakukan survei pasar dan pemasok terlebih dahulu. Survei pasar terutama perlu bagi mereka yang memiliki keterbatasan modal. Sebagus atau semurah apapun produk kita, apabila permintaan di daerah kita terbatas, prospek usaha Anda bisa suram.

Sedang survei pemasok bertujuan menekan biaya operasional, seperti biaya akomodasi. Jika lokasi pemasok jauh dari tempat Anda, tentu biaya transportasi akan membengkak. Jadi, dalam memilih pemasok, jangan hanya tergiur dengan harga yang murah.

Modal bisnis ritel juga beragam,  bergantung pada lokasi ritel, konsep ritel, dan sistem promosi yang ingin dilaksanakan. Semakin strategis lokasi ritel, semakin mewah konsep ritel dan semakin kreatif promosi yang kita rencanakan, semakin besar modal yang kita butuhkan.

Namun, keputusan untuk memulai dari modal besar atau kecil bergantung pada calon pelaku. "Mau mulai dengan modal besar atau kecil, tentu ada risiko dan keuntungan masing-masing," tutur Ikhsan. Ia mencontohkan, menganggarkan modal yang besar berarti semakin cepat dikenal, namun waktu kembali modal juga lebih lama.

Tidak ada juga rumusan yang kaku tentang alokasi modal usaha ritel. Porsi investasi yang harus dikeluarkan untuk lokasi, stok barang, promosi dan sumber daya manusia tentu disesuaikan dengan konsep usaha yang dirancang. Namun, kelazimannya, modal terbesar usaha ritel akan habis untuk lokasi dan stok barang. Ananta berbagi pengalamannya. Saat memulai usaha ritel susu, ia menyiapkan investasi hingga Rp 385 juta untuk stok barang. "Untuk lokasinya relatif tapi biasanya nilainya tidak jauh berbeda dengan pengadaan stok tadi," papar Ananta yang kini sudah mewaralabakan konsep ritel susu hemat miliknya.

Ikhsan menilai, mereka yang bermodal cekak tetap bisa memulai usaha ritelnya. Ikhsan mencontohkan, hitung-hitungan untuk ritel kebutuhan sehari-hari, seperti toko kelontong misalnya, dapat dimulai dengan modal sekitar Rp 10 juta-Rp 20 juta. Modal itu untuk pengadaan stok barang saja, karena toko kelontong biasanya memanfaatkan ruang lebih di rumah. "Atau kalau ingin buat sendiri, biaya untuk membuat ruangan seperti toko kelontong dengan luas 2 x 3 meter, bisa dengan modal Rp 10 juta - Rp 20 juta," tambah Ikhsan.

Nilai investasi atau modal yang dikeluarkan akan menentukan waktu pengenalan usaha kita kepada masyarakat. Modal usaha yang besar akan mempercepat pengenalan usaha ritel. Namun, usaha ritel dengan modal terbatas, mungkin, membutuhkan waktu setahun untuk dikenal oleh masyarakat yang berada di satu RT.


Sesuaikan stok

Jika serius ingin berbisnis ritel, sebaiknya, Anda bersiap-siap untuk terjun langsung mengelola di tahun pertama. Kondisi ideal ini bertujuan untuk membangun sekaligus menjaga standar kualitas. Setelah setahun, baru pemilik bisa melepaskan urusan pengelolaan ke karyawan yang dipercaya. Namun, kendati sudah mendelegasikan urusan harian, sang pemilik tetap harus melakukan pendampingan.

Bersamaan dengan urusan pengembangan sumber daya manusia, pemilik toko juga harus mulai merancang pengembangan jaringannya. Relasi yang dimaksud di sini adalah konsumen dan pemasok.

Pengembangan pasar dan pemasok harus berjalan seiring agar tidak terjadi gap antara permintaan dengan stok yang tersedia. Nah di sini, pemilik usaha ritel juga harus pintar-pintar menyeimbangkan antara persediaan dengan target pasarnya. Jangan sampai stok yang tersedia tidak sesuai dengan target pasar. Ambil contoh, si pemilik menyasar konsumen menengah ke atas, namun stok produknya malah untuk kalangan menengah ke bawah.

Untuk mencegah ketidakcocokan antara segmen pasar dengan stok, pebisnis ritel seharusnya terus belajar mengenal ragam produk yang ia bisniskan, baik dari sisi harga maupun dari tingkat kualitas. "Mereka yang memilih ikut waralaba, mungkin jalannya akan lebih mudah karena sudah ada standar," tambah Ikhsan.

Untuk ritel yang berhubungan dengan busana, seperti tas, Alemina berkisah, stok model harus diusahakan berganti tiap minggu. Tujuannya adalah memastikan jumlah pelanggan yang datang ke toko sesuai dengan target. "Jadi harus rajin berbelanja. Pemberian diskon juga bisa membantu perputaran barang. Barangnya kan tidak bisa diretur, hingga diskon sangat membantu untuk menghabiskan stok yang susah terjual," tambah Alemina.

Soal kemungkinan merugi, itu bisa saja dialami oleh pemilik usaha ritel. Perlu diingat, pebisnis ritel baru sangat mungkin menanggung rugi selama dua-tiga bulan pertama berusaha. Agar tidak putus napas, Anda sebaiknya menyiapkan cadangan dana untuk kegiatan operasional selama masa-masa tekor tersebut. "Setelah tiga bulan, baru bisa mendapat untung, kendati nilainya tidak langsung besar," ujar Ananta.

Pengalaman Alemina setali tiga uang. Selama dua bulan pertama berusaha, Alemina mengakui pendapatannya hanya cukup untuk menutup berbagai biaya bulanan, seperti gaji karyawan, membayar sewa tempat serta melunasi pembelian dari pemasok. Baru di bulan ketiga berusaha, Alemina bisa mengantongi margin laba.

Jika kerugian tidak kunjung berhenti, Ikhsan menyarankan jangan langsung berhenti berusaha, melainkan mencoba mengganti produk yang dijajakan. "Tidak ada patokan khusus tentang batas toleransi berusaha, tapi yang pasti jangan berhenti. Jalan keluar, bisa mencari tambahan modal, atau mengganti produk yang kita jual," saran Ikhsan.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×