kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Uswatun jadi perajin batik karena terpikat koleksi


Senin, 09 Juli 2012 / 13:25 WIB
Uswatun jadi perajin batik karena terpikat koleksi
Disney+ siapkan film Indonesia baru yang memasangkan Cinta Laura dan Angga Yunanda


Reporter: Andri Indradie | Editor: Tri Adi

Jatuh bangun berbisnis tidak membuat Uswatun patah semangat. Berkat kegigihannya, dia tak hanya berhasil melestarikan batik, tapi juga mampu meraih kesuksesan. Lewat seni batik khas Tuban merek Batik Sekar Ayu, bisnisnya berkibar.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itulah yang terjadi pada Uswatun, seorang perajin dan pelestari batik khas Tuban. Nenek dan ibunya adalah seorang penenun dan pembatik. Darah seni dari dua perempuan itu mengalir deras pada tubuh Uswatun sehingga mengantarkannya menjadi seorang pelestari batik tulis Tubanan. Kini, ia sudah mampu meraup omzet Rp 300 juta hingga Rp 350 juta per bulan.

Bukan hanya pasar lokal, batik buatan Uswatun pun menembus pasar Australia dan Jepang. “Selain ada pembeli yang datang, saya juga rutin mengirim ke beberapa kota, seperti Jakarta dan Bali,” ujar perajin yang sudah menciptakan lebih dari 300 motif batik ini. Menurutnya, selain sebagai barang koleksi, batik buatannya juga dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan sepatu.

Batik buatan Uswatun sangat khas karena dia memintal dan menenun sendiri kain sebagai media batik. Kapas bahan pembuat benangnya dihasilkan dari kawasan Tuban. Sementara, untuk mewarnai batiknya, dia menggunakan pewarna alam yang aman. “Pewarna alam menimbulkan kesan kuno,” tandas Uswatun yang dalam seminggu bisa memproduksi antara 300 lembar hingga 500 lembar kain batik atau sekitar 1.200 hingga 2.000 potong batik per bulan.

Uswatun mampu memproduksi batik sebanyak itu lantaran didukung warga di kampungnya yang bekerja sampingan sebagai pembatik. Meski hanya punya 25 karyawan tetap, ia mampu menggerakkan sekitar 300 warga untuk membatik. “Awalnya, di kampung ini tidak banyak yang bisa membatik. Semua belajar dari nol,” ungkap ibu satu anak ini.

Uswatun bisa dibilang sebagai tokoh perintis kebangkitan batik tulis khas Tuban. Dia memulai usaha ini sejak tahun 1993. “Saat itu, tidak banyak yang mengenal batik Tuban. Batik masih sangat asing. Jadi, pada awalnya, sangat sulit memasarkannya,” katanya.

Saat awal mencoba membuat kaus batik, Uswatun memperkirakan akan gampang menjualnya. Ternyata, menjual batik sama sulitnya. Namun, meski merugi, ia tidak patah semangat. Demikian juga ketika sang ibu menentang keinginannya untuk menekuni batik.

Uswatun bercerita, sebenarnya, tradisi membatik di keluarganya diturunkan bukan untuk dijual, tapi hanya untuk koleksi atau dipakai sendiri. “Saya lihat, koleksi batik nenek saya sampai ratusan. Dari situ, saya tertarik untuk membuat sendiri,” kata Uswatun yang telah belajar menenun dan membatik sejak usia belia.

Ketika sudah menguasai ilmu membatik dan filosofi motif batik tuban, Uswatun lantas mengajak anak-anak putus sekolah untuk belajar membatik. “Pada tahun 1993, sangat sulit menjual batik dalam bentuk kain karena masyarakat belum familiar,” katanya.

Oleh karena itu, Uswatun menggunakan kaus sebagai media membatik. Ternyata, hal itu juga tidak mendapat perhatian pasar. Uang Rp 300.000 sebagai modal awal usaha terus mengempis sehingga praktis ia merugi. “Padahal, kaus batik itu sudah dijual murah dengan terpaksa karena hasil kerja anak-anak banyak yang rusak,” ujar Uswatun.

Sempat tertipu

Uswatun berkisah, pada awalnya, model pemasaran yang dia lakukan adalah menjual dari pintu ke pintu. Dia belum memiliki mitra yang mau menampung batik buatannya.

Meski merugi, Uswatun tak putus asa. Dia terus melatih anak-anak putus sekolah dan ibu-ibu di kampungnya. Sekitar tahun 1997, ia mendapatkan pinjaman modal Rp 15 juta. Sayangnya, hingga jatuh tempo masa pinjaman, dia tidak bisa mengembalikan pinjaman itu. Penyebabnya, ia sempat jadi korban penipuan mitranya di Bali.

Uswatun mengenang, dalam berjualan, dia biasa menerapkan sistem titip tanpa uang muka. “Ketika itu, ada peristiwa bom Bali. Pedagang yang saya titipi itu tidak mau membayar karena dagangannya kena bom. Semua mengaku kena bom,” katanya legawa.

Dari peristiwa itu, Uswatun merugi hingga Rp 25 juta. Meski begitu, ia tidak mangkir dari si pemberi modal. Perempuan berjilbab ini bercerita apa adanya soal pengalaman kena tipu kepada krediturnya. Untunglah sang pemodal mau menerima alasannya. Justru, ia ditawari pinjaman yang lebih besar.

Sebagai kompensasi dari pinjaman itu, Uswatun diminta untuk mengajar membatik di kawasan Tuban sekaligus sesekali diajak mengikuti pameran. Dia juga rajin ikut aneka pelatihan, mulai kemampuan manajerial, pengemasan, hingga penjualan. Dia tak sungkan belajar keterampilan membatik dari daerah lain seperti Pekalongan.

Perlahan tapi pasti, usaha Uswatun berkembang. Workshop membatik miliknya semakin besar. Bahkan, ia mendirikan sanggar batik bagi siapa saja yang ingin belajar membatik secara gratis. “Sekarang, batik Tuban sudah banyak dikenal, perajinnya juga semakin banyak,” kata Uswatun yang sangat konsisten memproduksi batik tulis ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×